Sabtu, 27 Agustus 2011

SEJARAH FATAYAT

 
Awal bulan ini, Fatayat NU menyelenggarakan Kongres di Jakarta. Sejarah panjang badan otonom ini telah menjadikan beberapa kadernya berkiprah di berbagai jabatan strategis. Hal ini memang sebagaimana diharapkan para pendirinya.

Usaha Tanpa Kenal Lelah

Latar belakang berdirinya Fatayat sebenarnya tak pernah lepas dari faktor pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak perempuan dan keagamaan. Baik pendidikan formal maupun non formal. Namun demikian, selain menyangkut soal pendidikan, ketika itu juga untuk memberikan perhatian dengan menggalang kerja sama unsur-unsur kepemudaan Islam lain. Jika ada masalah, maka para aktifis bertemu di forum tersebut sebelum diselesaikan ke forum yang lebih besar. Forum-forum kepemudaan Islam ini pula yang menjadi embrio lain dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).

Secara resmi, Fatayat NU didirikan pada tanggal 7 rajab 1369 yang bertepatan dengan 24 April 1950. Namun perintisannya sudah dimulai sejak tahun 1940 oleh tiga serangkai wanita; Murtasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik) dan Aminah Mansur (Sidoarjo).
Kiprah para pemudi NU yang terhimpun pada Fatayat NU sudah demikian besar. Pada tahun 1954, saat Muslimat membicarakan perkawinan di bawah umur dan pemberantasan buta huruf, banyak perempuan muda aktifis NU terlibat juga secara intensif. Ada pleno dimana Fatayat bergabung dengan rekan Muslimat. Kemajuan pemikiran yang muncul saat itu adalah adanya keputusan bahwa kalangan Fatayat dan Muslimat sudah harus diberi kesem-patan sebagai pemimpin publik dalam arti sesungguhnya. Bukan saja di intern, tapi di masyarakat secara luas. Karena itu, sudah muncul tuntutan agar kalangan Fatayat dan Muslimat juga berhak dicalonkan menjadi anggota legislatif. Pada tahun 1955, sudah ada wakil Muslimat yang duduk di DPR-RI, yakni Ibu Mach-mudah Mawardi dan Ibu Asmah Syahruni. Pada Muktamar NU tahun 1957, diputuskan secara resmi keterlibatan wanita NU di politik, meski pada Pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955, sudah ada anggota legislatif perempuan dari NU yang memperoleh 5 kursi dari fraksi NU, sedangkan di Konstituante, bertambah menjadi 9 orang, diantaranya Ibu Nihayah Bakry yang kemudian dikenal dengan Ibu Nihayah Maksum. Hal ini itu kian mentahbiskan bahwa perempuan sudah sangat maju.

Tahun 1962, pada Muktamar NU di Solo, muncul perdebatan boleh tidaknya aktifis perempuan menjadi kepala desa (Kades). Waktu itu ada anggota Fatayat NU yang akan mencalonkan diri sebagai Kades, tapi merasa tidak ada rujukan. Keputusannya ternyata NU memperbolehkan. Keputusan itu luar biasa maju, karena aktifis Fatayat disahkan untuk tampil di ruang publik.

Dalam kerangka mendobrak tradisi NU, ibu Ny Sholihah A Wahid Hasyim sempat menggugat penggunaan tirai tinggi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Waktu itu ibunda KH Abdurrahman Wahid ini berkata, “Saya nggak mau pakai tirai!”. Maka diaturlah pemisahan laki-laki dan perempuan masih tetap dengan tirai, tapi bukan dengan kain putih, melainkan dengan pot-pot pohon yang diatur rapi, berjajar ke belakang. Ada tirai, tapi di sela-sela daunnya kita masih dapat melihat ke bagian laki-laki.

Untunglah pemikiran dan geliat kesamaan perlakuan ini juga diimbangi dengan tauladan dari kiai berpengaruh. KH Bisri Syansuri, misalnya sudah mendirikan pesantren khusus untuk perempuan di Denanyar, Jombang, kendati kala itu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sempat menantang. Mbah Bisri (sapaan KH Bisri Syansuri) juga memberi banyak kelonggaran dalam hal pergaulan kepada puteri-puterinya. Longgar dalam pengertian boleh bertemu siapa saja, asal ditemani yang lebih tua. Hanya saja, Mbah Bisri sangat keras dalam menegakkan aturan agama.

Pengalaman Pasang-Surut

Pada masa awal kepengurusan di Fatayat, yang menjadi Ketua Umum (Ketum) adalah Muslimat, tapi yang menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dari Fatayat; seperti ex offisio. Dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, Muslimat mendirikan sekolah, tapi guru-gurunya dari Fatayat. Hubungannya dulu seperti adik-kakak.

Semula Kongres Fatayat–Muslimat menyatu dengan Muktamar NU, tapi tahun 1967 di Surabaya, kongres mulai terpisah. Pertimbangannya, ketika NU membahas suatu persoalan, Muslimat dan Fatayat posisinya hanya sebagai “penggembira”. Wacana yang mengemuka kala itu adalah, lantas kapan perempuan NU dapat mengurusi dirinya sendiri? Tapi aneh-nya, sejak tahun 1967-1979 terjadi kevakuman di Fatayat dan Muslimat. Sebabnya, seperti diketahui, hampir seluruh anggota Muslimat-Fatayat adalah guru dan pegawai negeri; dan saat itu diberlakukan praktik monoloyalitas hanya kepada Golkar, dan banyak anggota Fatayat yang dihantui rasa ketakutan untuk menjadi pengurus.

Pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Kongres Muslimat-Fatayat digabung lagi. Perubahan terjadi di Fatayat NU. Sebagian besar PP Fatayat merasa sudah terlalu tua menjadi pengurus.

Perubahan drastis dimulai saat Fatayat dipimpin Ibu Mahfudhoh. Pada masa ke-pemimpinan beliau, Fatayat mempunyai program yang disebut: Kelangsungan Hidup Anak (KHI). Program itu sebenarnya punya Muslimat, Pembinaan Karang Balita, tapi kemudian diserahkan ke Fatayat dan diformulasikan dalam bentuk kerja sama dengan UNICEF dan DEPAG dalam bentuk KHI.

Arti Lambang:

1. Setangkai bunga melati, adalah lambing yang murni
2. Tegak di atas dua helai daun, berarti dalam setiap gerak langkahnya Fatayat tidak lepas dari pengawasan bapak dan ibu (NU dan Muslimat)
3. Di dalam sebuah bintang, berarti gerak langkah Fatayat selalu berlandaskan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah.
4. Delapan bintang, berarti empat khalifah dan empat mazhab.
5. Dilingkari oleh tali persatuan, berarti Fatayat NU tidak keluar dari Ahlussunnah waljamaah
6. Dilukiskan dengan warna putih di atas warna dasar hijau, berarti kesucian dan kebenaran.

Dasar Perjuangan

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, me-nyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3: 104)

Tujuan Fatayat NU

1. Terbentuknya pemudi atau wanita muda Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlahul karimah, bermoral, cakap bertanggungjawab, berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
2. Terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender.
3. Terwujudnya rasa kesetiaan ter-hadap asas, aqidah dan tujuan NU dalam menegakkan syariat Islam.

Visi, Misi, dan Isu Strategis

Visi: Penghapusan segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif, demokratis dan berkeadilan jender.

Misi: Membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender; Penguatan SDM; Human Resource Development, dan Pemberdayaan masyarakat.
Isu strategi: 1) Sistem Kaderisasi; 2) Sistem manajement organisasi; 3) Penguatan hak-hak perempuan dan penguatan ekonomi; 4) Sumber dana tetap.
Sasaran Program: 1) Masyarakat Umum; 2) Perempuan; 3) Usia 20 s/d 40 tahun. (AULA Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar