Sabtu, 20 Agustus 2011

STRATEGI DAKWAH

Lebih kurang tujuh abad yang lalu, Kerajaan Majapahit berdiri dan mengalami
kejayaan yang ditunjang dengan berbagai kekuatan, baik kekuatan fisik (tentara)
maupun wilayahnya yang luas. Mayoritas agama penduduk Kerajaan Majapahit
adalah Hindu dan Budha, dan kepercayaan yang dianutnya adalah animisme dan
dinamisme.
Seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan yang ada, datanglah
berbagai pedagang dari luar daerah (baik luar jawa, maupun luar nusantara). Mereka
membawa adat dan perilaku sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan yang
dianutnya. Diantara para pendatang/ pedagang itu ada yang memang sengaja
membawa ajaran Islam sebagai misi yang harus disiarkannya.
Para penyebar ajaran Islam itu pada akhirnya membentuk suatu
perkumpulan Dewan Dakwah Islam, yang menurut K.H. Dachlan Abdul Qohar di
sebut Wali Songo, artinya sembilan wali.
Sejarah dakwah para ulama yang terkenal dengan wali songo ini patut
dipelajari aspek teknik dan strateginya yang dapat dengan mudah mengajak
masyarakat yang asalnya beragama Hindu untuk masuk ke agama Islam.
Masyarakat yang asalnya “berandalan” menjadi seorang muslim yang setia dan
taat, bahkan mereka menjadi benteng pembela umat Islam.
Para wali songo itu mengajak dengan keluwesan dan keluhuran budi yang
agung. Dengan kesabaran, keikhlasan dan tawakal, serta dengan keajaiban-keajaiban
(baca : ilmu kesaktian) yang dimilikinya mampu membuat masyarakat simpatik dan
mendukungnya. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya itu memudahkan orang untuk
mengikuti jejaknya.
Ada perbedaan pendapat, tentang siapa-siapa yang termasuk dalam
kelompok wali songo, namun secara umum yang dikenal selama ini adalah Syeikh
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik di Gresik, Sunan Ampel atau Raden
Rahmat di Surabaya, Sunan Giri atau Raden Paku di Gresik, Sunan Gunung Jati
atau Syarif Hidayatullah di Cirebon, Sunan Bonang atau Raden Makdum Ibrahim
di Tuban, Sunan Drajat atau Raden Qosim di Lamongan, Sunan Kalijaga atau
Raden Said di Kadilangu, Demak, Sunan Kudus atau Jakfar Shodiq di Kudus, dan
Sunan Muria atau Raden Prawata di Cpolo, Muria1.
Strategi penyebaran informasi ajaran Islam yang di praktekkan oleh wali
songo patut untuk di analisis kembali, walau sebenarnya ada nilai kontroversi
tentang sejarahnya, namun tetap menarik untuk dianalisis kembali khususnya pada
keberhasilan dalam menyebarkan informasi dakwah. Strategi mereka berhasil dalam
menghampiri karakter masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura untuk memeluk ajaran yang di anutnya.

Dari rakyat biasa (dalam agama Hindu disebut kasta terendah
atau sudra) sampai pada kalangan bangsawan atau raja-raja (kasta-kasta tinggi
seperti brahmana, dan lain-lain).
Strategi para wali sangat halus dalam menanamkan nilai keimanan dan
keislaman sehingga masyarakat tidak banyak tersinggung, tapi justru menaruh
simpati. Falsafah yang selalu dipegangnya adalah “mengambil ikannya tanpa
mengeruhkan airnya”. Para wali dengan segala kebijaksanaannya berusaha untuk
tidak menentang arus tetapi membelokkan arus. Sebagai strateginya, para wali
juga mendirikan pondok pesantren sebagai pusat pengkaderan untuk membantu
dan meneruskan cita-cita luhurnya.
Secara rinci ada lima strategi dakwah yang dilakukan oleh wali songo
dalam mengemban misi Islam, yaitu pertama, penyebaran ulama ke daerah-daerah
yang menjadi bawahan kerajaan Majapahit. Kedua, sistem dakwah dilakukan
dengan cara pengenalan ajaran Islam melalui pendekatan persuasif yang berorientasi
penanaman aqidah Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Ketiga, melakukan perang ideologi untuk memberantas etos dan nilai-nilai dogmatis
yang bertentangan dengan nilai aqidah Islam, di mana para ulama harus menciptakan
mitos dan nilai-nilai tandingan baru yang sesuai dengan Islam. Keempat, melakukan
pendekatan terhadap para tokoh yang dianggap mempunyai pengaruh di suatu tempat
dan berusaha menghindari konflik, dan Kelima, berusaha menguasai kebutuhankebutuhan
pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, baik kebutuhan yang
bersifat materiil maupun spiritual2.
Keberhasilan penerapam strategi dakwah wali songo tersebut menarik untuk
dicari benang merahnya dalam bidang keilmuan komunikasi, misalnya
mempertautkan antara konsep dan teori dalam komunikasi, serta hambatan yang
mengiringi perjalanan dakwah para wali.
Konsep Komunikasi Dalam Dakwah Wali Songo
Dalam proses komunikasi dikenal adanya komunikator, komunikan, pesan,
saluran yang digunakan, dan efek. Elemen-elemen ini akan saling berkaitan erat
antara satu dengan lainnya. Seorang komunikator membutuhkan pesan yang
disampaikan kepada komunikan, dan menggunakan saluran/chanel apa yang
mempunyai dampak/efek yang baik.

Begitu juga dalam konsep komunikasi dakwah.
Sebenarnya pengertian dakwah itupun juga termasuk dalam kategori proses
komunikasi. Kedua istilah tersebut pengertiannya adalah sebagai berikut :
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang
lain untuk memberitahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media3. Adapun pengertian
dakwah adalah :
Dakwah adalah suatu kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan,
tulisan, atau tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar
dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain, baik secara
individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu
pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan
terhadap ajaran agama sebagai message yang disampaikan
kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan4.
Dari kedua pengertian di atas, terdapat kesamaan proses dan hakikat dari
seorang untuk mempengaruhi orang lain. Perbedaannya hanya terletak pada cara
dan tujuan yang akan dicapai. Jika tujuan komunikasi mengharapkan adanya
partisipasi atas pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator sehingga terjadi
perubahan sikap dan tingkah laku yang diharapkan, maka tujuan dakwah merubah
sikap dan tingkah laku itu sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam5.
Dalam hal ini, komunikasi yang dilakukan oleh para wali songo adalah
kategori komunikasi dakwah. Sebagai komunikator para wali adalah seorang
mubaligh (ulama), setiap pesan yang disampaikannya adalah bersumber dari Al –
qur’an dan Sunnah Rasul. Pendekatan yang digunakan adalah persuasif sehingga
dapat mengubah sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesan
yang disampaikan.
Untuk lebih jelasnya, berikut dijelaskan tentang konsep komunikasi pada
strategi dakwah wali songo:

1. Konsep Komunikasi Dalam Strategi Dakwah Wali Songo
Harold D. Laswell mengatakan cara yang terbaik untuk menerangkan
kegiatan komunikasi adalah menjawab elemen pertanyaan sebagai berikut :
who (siapa komunikatornya), says what (pesan apa yang dikatakannya), in
which channel (media apa yang digunakan), to whom (siapakah
komunikannya), dan with what effect (efek apa yang diharapkan)6.
Dalam proses komunikasi, elemen-elemen di atas juga disebut dengan
source, massage, channel, receiver, dan effect. Bagi source sebelum
menyampaikan pesan, terlebih dahulu menyandi (encod) pesan ke dalam suatu pengertian, artinya komunikator dalam menyampaikan pesan harus memilih
dan merancangnya sesuai dengan aturan tata bahasa yang mudah dimengerti
maksudnya oleh khalayak. Demikian pula receiver menyandi kembali (decod)
isi pesan yang diterimanya sehingga memberikan efek dan kemudian
memberikan umpan balik atau feed back.
Proses komunikasi di atas dapat dijadikan sebagai penjelasan
hubungannya dengan proses komunikasi dakwah yang dilakukan oleh para wali.
Sebagaimana diketahui strategi komunikasi yang diterapkan oleh para wali
adalah strategi komunikasi dakwah. Oleh karena itu formula Laswell dapat
menjelaskan secara rinci yaitu:
Who : Wali Songo
Says What : Pesan-pesan yang bersumber pada Al–Qur’an dan
Sunnah Rasul
To Whom : Kepada masyarakat secara umum
In With Channel : Dengan menggunakan media atau saluran dakwah
With What Effect : Terjadinya perubahan tingkah laku, sikap dan perbuatan
sesuai dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh
komunikator dakwah.
Dengan demikian, konsep komunikasi pada strategi dakwah wali songo
adalah para ulama (wali songo sebagai komunikator) menyampaikan pesanpesan
yang bersumber pada Al – Qur’an dan Sunnah Rasul (sebagai message),
kepada masyarakat umum (sebagai komunikan) dengan menggunakan media
atau saluran dakwah sehingga terjadi perubahan tingkah laku, sikap dan
perbuatan sesuai dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator
dakwah (sebagai efek).

2. Konsep Komunikasi Interpersonal Dalam Strategi Dakwah Wali Songo
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan
seseorang komunikan, bersifat dialogis berupa percakapan7. Komunikasi
interpersonal mempunyai ciri khusus yaitu sifat komunikasinya dua arah, adanya
timbal balik antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi jenis ini
dianggap lebih efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku
seseorang. Menurut Mortensen (1972)8 jenis komunikasi ini amat menentukan
peristiwa komunikatif dan pentingnya makna pesan yang bersifat internal, yakni
diberikan filter atau perangkat konseptual.
Berkaitan dengan pengertian komunikasi interpersonal tersebut maka
strategi dakwah yang digunakan oleh para wali adalah dengan pendekatan
komunikasi interpesonal. Mengingat dakwah yang sering dilakukan oleh wali
songo adalah secara langsung berhadapan dengan lawan bicaranya (baca :
jama’ahnya). Kegiatan ini dapat dilakukan dalam bentuk bimbingan dan
penyuluhan dari orang ke orang, maupun dari rumah ke rumah. Bahkan sering
para wali terlibat dengan percakapan-percakapan yang bersifat dialogis, yang
langsung mengena pada lawan bicaranya. Dengan gaya dan bahasa yang penuh
makna filosofis tinggi tentang nilai-nilai keimanan dan keislaman, para wali
mampu menanamkan sikap dan pendapatnya terhadap lawan bicaranya. Sebagai
contoh ; Sunan Ampel pernah terlibat komunikasi interpersonal dengan Prabu
Brawijaya, meskipun sang prabu belum dapat mengikuti jejaknya (masuk Islam),
akan tetapi efek dari komunikasi yang dilakukan Sunan Ampel mampu
mempengaruhi sikap dan perilakunya dan pada akhirnya diambil sebagai
menantunya. Sunan Bonang juga pernah melakukan komunikasi yang serupa,
sewaktu Raden Said (sebelum menjadi wali) mau merampoknya, dengan bahasa
yang komunikatif dan penuh makna yang hakiki Sunan Bonang mampu
menjadikan Raden Said sebagai seorang wali yang mumpuni, dan begitu juga
yang terjadi pada seorang biksu yang ‘sakti mandraguna’ dari India. Biksu
itupun akhirnya takluk di bawah pengaruh komunikasi interpersonal Sunan
Bonang.
Digunakannya konsep komunikasi interpersonal oleh para wali, karena
komunikasi ini dianggap sebagai komunikasi yang paling efektif, langsung
mengena sasaran dan mengetahui efek apa yang ditimbulkannya secara
langsung.

3. Konsep Komunikasi Massa Dalam Strategi Dakwah Wali Songo
Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah
khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau
elektronik, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan
sesaat9.
Menurut Mc Quail, tujuan komunikasi massa dalam masyarakat adalah
memberi informasi, korelasi (pertalian) bagian-bagian masyarakat dalam
memberikan respon terhadap lingkungannya, kesinambungan, hiburan, dan
mobilisasi10.
Dalam komunikasi massa terdapat model yang dibuat oleh Ball-
Rokeach dan DeFleur (1976) yaitu model ketergantungan dalam efek
komunikasi massa. Model ini menyatakan bahwa dalam masyarakat modern,
audien cenderung tergantung pada sumber-sumber informasi media massa untuk
memperoleh pengetahuan dan berorientasi kepada apa-apa yang terjadi di
masyarakat mereka. Model ini juga memperlihatkan saling hubungan antara
tiga variabel utama dan jenis efek yang ditentukan oleh adanya interaksi dari
ketiganya, yaitu sistem sosial, sistem media, dan efek yang ada pada audien11.
Melihat model komunikasi massa di atas, maka media massa
mempunyai peran penting dalam kegiatan dakwah para wali songo, terutama
dalam usaha memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan
peningkatan derajat kehidupan manusia. Dari media ini diharapkan dapat
memberikan efek pada khalayak sesuai dengan tujuannya.
Media yang digunakan oleh para wali songo dalam berdakwah adalah
media tradisional berupa kesenian rakyat, karena media yang modern seperti
surat kabar, majalah, radio, maupun televisi memang belum ada waktu itu.
Sunan Bonang, dalam strategi dakwahnya untuk menarik simpati
masyarakat, sering menggunakan kesenian rakyat berupa seperangkat gamelan
yang disebut “bonang”. Raden Makdum Ibrahim di sebut Sunan Bonang di
antaranya karena beliau piawai dalam memainkan alat musik ini, yaitu sejenis
kuningan yang menonjol di bagian tengahnya, jika dipukul ‘benjolan’nya akan
memberikan suara yang merdu di telinga masyarakat.
Sunan Bonang juga menciptakan tembang-tembang yang berisikan
ajaran Islam, yaitu ‘tombo ati’, beliau juga menciptakan karya sastra yang
disebut ‘suluk’ yang berasal dari bahasa arab ‘salakattariqa’ yang artinya
menempuh jalan (tasawuf) atau tarekat. Jika disiarkan dalam bentuk tembang
disebut ‘suluk’. Sedang bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa
disebut ‘wirid’.
Sunan Kalijaga, adalah wali yang lebih banyak dikenal masyarakat
secara umum karena strategi dakwahnya yang merakyat melalui media
kesenian. Ada seni pakaian, seni ukir, seni suara, seni gamelan, bahkan beliaulah
yang pertama kali mendesain wayang kulit seperti yang kita dapati sekarang
ini, dan sekaligus sebagai dalangnya. Beliau juga berdakwah melalui ‘gong
sekaten’ (aslinya ‘gong syahadatain’). Ciptaan Sunan Kalijaga yang terkenal
adalah lagu ‘Ilir-Ilir’.
Kesenian rakyat memang satu-satunya media saat itu yang paling
efektif sebagai sarana berdakwah. Sehingga banyak para wali yang menciptakan tembang-tembang jawa sebagai sarana berdakwah. Misalnya,
tembang ‘pangkur’ diciptakan oleh Sunan Drajat. Sunan Giri menciptakan
tembang ‘asmaradana’ dan ‘pucung’. Sunan Bonang menciptakan ‘durma’,
Sunan Kalijaga menciptakan tembang ‘dandang gulo’, Sunan Kudus
menciptakan tembang ‘maskumambang’ dan ‘mijil’, dan Sunan Muria
menciptakan lagu ‘sinaun’ dan ‘kinanti’12.
Dengan demikian, praktis para wali menggunakan media kesenian
rakyat sebagai sarana dakwah untuk menarik simpati masyarakat, dan
masyarakatpun tertarik dan simpati pada apa yang dilakukan oleh para wali
sebagai efek dari ajakan dengan media kesenian rakyat.
Keterkaitan antara media kesenian rakyat yang digunakan oleh para
wali sebagai sarana dakwah dengan model ketergantungan yang dikembangkan
oleh Ball-Rokeach dan DeFleur adalah terdapat ‘titik singgung’ antara media
massa pada masyarakat modern dengan media yang ada pada masyarakat
tradisional pada zaman wali melakukan aktivitas dakwah. Masyarakat sebagai
audien dan dengan segala sistem sosial yang melingkupinya menaruh simpati
pada sistem media (waktu itu berupa kesenian rakyat). Dalam media ini pesanpesan
yang sudah disiapkan mampu mempengaruhi audien (sebagai efek),
sehingga audien mengalami perubahan sikap, perilaku, dan pendapat atau
perubahan kognitif, afektif, dan behavioral sesuai dengan apa yang diharapkan.

4. Konsep Bariers Dalam Strategi Dakwah Wali Songo
Dalam proses komunikasi yang perlu diperhatikan adalah tentang
bariers atau hambatan-hambatan yang datang seketika atau sudah diketahuinya.
Pada bariers yang sudah diketahuinya dapat diantisipasi sebelumnya sehingga
proses komunikasi dapat berjalan lancar, dan ini berbeda dengan bariers yang
datang bersamaan dengan jalannya komunikasi.

Strategi Dakwah Wali Songo Dalam Perspektif Psikologi Komunikator
Srategi dakwah para wali sebenarnya sangat sederhana, karena memang
beliau orang alim yang tidak punya kepentingan banyak tentang duniawi.
Kepentingannya hanya ingin membimbing manusia ke arah jalan yang benar yaitu
ajaran agama Islam. Oleh karena itu strategi yang digunakan bersifat rohaniah
(psikologis) dan bersifat jasmaniyah (bela diri).
Strategi yang bersifat rohaniah berkaitan dengan karakter kepribadian yang
dimilikinya ; yaitu sifat-sifat yang memang harus di punyai oleh orang muslim,
khususnya para wali yang dijadikan panutan oleh umat. Oleh karenanya para wali
memiliki sifat iman dan taqwa kepada Allah SWT, tulus, ikhlas dan tidak
mementingkan diri pribadi, penuh pengertian, tawadhu’, sederhana, dan jujur, tidak
memiliki sifat egoisme, bersemangat tanpa mengenal lelah, sabar dan tawakal,
berjiwa toleran, demokratis dan tidak memiliki penyakit hati. Para wali dalam
bersikap untuk menarik simpati masyarakat juga bersifat bijaksana, berakhlaq mulia,
berwibawa, bertanggungjawab dan berpandangan luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar