cinta bukan segalanya!,
namun segalanya butuh akan cinta!
cintailah orang yang mencintaimu,
karna itu yang terbaik bagimu
cintailah sesuatu karena allah!,
maka allah pun akan mencintai
dan meridloi percintaan yang mencintai karna nya
jika itu semua tejadi, maka yang ada bukanlah sakit hati
namun suatu kebahagiaan yang kita rasakn walau pun
kekasih kita meninggalkan kita
artikelchizbul.com
semoga bermanfa'at bagi semua aja lah
Sabtu, 21 Januari 2012
Rabu, 21 Desember 2011
pribahasa mencari wanita
janganlah kamu mencari seorang wanita yang menuangkan air panas ke dalam gelas hatimu, karna bisa memecahkanya, carilah wanita yang memberikan dan menuangkan air sejuk kedalam gelas hatimu, agar cintamu basa meminum airnay
Selasa, 20 Desember 2011
Mustahilkah Ada Pacaran yang Islami?
Ternyata Cinta Tidak Mustahil Abadi
Salah satu alasan utama penghujat ‘pacaran islami’ adalah seruan: “Oiii … Ternyata Cinta tuh, Nggak Abadi!” (KHP: 130). Benarkah seruan ini? Mari kita periksa.KHP mendasarkan seruannya itu pada pernyataan antropolog Helen Fischer bahwa “kasus-kasus perceraian muncul ketika telah mencapai empat tahun masa perkawinan” dan “kalaupun bertahan, pasti karena faktor-faktor lain” di luar cinta (KHP: 132). Mengapa hanya empat tahun masa perkawinan? Menurut teori Fischer (Four Years Itch), itu karena bekerjanya sejumlah hormon yang diproduksi di otak selama orang jatuh cinta hanya empat tahun (KHP: 132).
Layakkah teori itu untuk dijadikan sandaran? Dalam pengamatan saya, penyandaran tersebut sesat-pikir lantaran ‘bersandar pada otoritas’ yang tidak tepat. (Lihat JSP: 12-13.) Lain halnya bila yang dirujuk ialah pakarnya: psikolog atau dokter yang berkecimpung di bidang hormon. Sekalipun begitu, mungkin masih ada manfaatnya bila kita periksa teorinya. Sebab itu, marilah kita asumsikan bahwa Helen Fischer memang ahli di bidang hormon.
Menurut teori Four Years Itch itu, hormon pemicu gelora cinta cuma bertahan sekitar empat tahun, setelah itu tak berbekas lagi. Karenanya, KHP menyimpulkan dengan memakai hitung-hitungan, “misalnya, orang yang pacarannya sudah tiga tahun, berarti kan [gelora cintanya] cuma bisa bertahan setahun setelah menikah, hehehe…” (KHP: 132)
Akan tetapi, kita bisa bertanya-tanya: Benarkah teori tersebut? Kalau iya, mengapa daya tahan hormon penggelora itu empat tahun saja? Apakah sudah merupakan ‘kodrat biologis’ yang berlaku universal sepanjang masa? Mungkinkah karena itu pria yang berpoligami cenderung lebih mencintai istri-baru daripada istri-lama? Dan yang bermonogami tergoda untuk berselingkuh? Ataukah karena penghayatan interaksi dengan lawan-jenis secara ‘modern’ lah penyebab sang hormon berumur pendek? Bukankah angka empat tahun itu hanya data statistik dari penelitian terhadap sekian orang di zaman modern ini?
Pertanyaan utama kita: Apakah teori four years itch itu berlaku pula pada gelora cinta Muhammad Rasulullah saw. kepada istri-istri beliau? Mari kita periksa melalui hadits-hadits.
Aisyah r.a. berkata: “Tidak ada rasa cemburuku terhadap salah seorang dari istri-istri Nabi saw. yang melebihi rasa cemburuku terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, [rasa cemburuku itu timbul] karena Nabi saw. sering menyebut-nyebut dia. …” (HR Bukhari dan Muslim) Dari Aisyah r.a., dia berkata: “… aku berkata [kepada Rasulullah saw.]: ‘Apa yang membuatmu selalu teringat kepada salah seorang nenek dari nenek-nenek kabilah Quraisy itu? Dia sudah tua renta dan telah habis ditelan masa [karena telah lama meninggal dunia]. Bukankah Allah sudah memberimu pengganti yang lebih baik daripada dia?’” (HR Bukhari dan Muslim. Dan dalam satu hadits riwayat Ahmad disebutkan, Rasulullah saw. menjawab: “Allah tidak memberiku pengganti yang lebih baik daripada dia.” [FBSSB8: 141])
Hadits-hadits itu mengisyaratkan, rasa cinta Rasulullah saw. kepada istri pertama, yaitu Khadijah r.a., tetap bergelora walau sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan kendati dia sudah wafat dan Nabi saw. telah menikah lagi. Gelora tersebut tampaknya begitu besar, sampai-sampai istri lain yang masih hidup sangat cemburu.
Apakah abadinya cinta beliau itu khusus bagi Khadijah r.a.? Mari kita tengok dua hadits shahih lainnya:
Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw., ketika sakit yang membawa beliau ajal, bertanya: “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Yang beliau maksud adalah hari giliran Aisyah. Lalu istri-istri beliau memberi izin kepada beliau untuk tinggal di mana saja yang beliau inginkan. Ternyata beliau memilih rumah Aisyah sampai beliau meninggal. (HR Bukhari dan Muslim) Sebelum itu, Aisyah r.a. pernah berkata: “Kaum muslimin pada saat ini sudah mengetahui betapa cintanya Rasulullah saw. kepada Aisyah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sewaktu menghadapi sakaratul-maut itu, sudah berapa lama Rasulullah saw. menikah dengan Aisyah r.a.? Dalam kitab Fathul Bari, jilid 8, disebutkan bahwa Nabi saw. wafat ketika Aisyah berusia delapanbelas tahun (KW1: 187). Adapun Aisyah r.a. berkata: “Nabi saw. menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. … [walau] ibuku menyerahkan aku kepada beliau ketika aku baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari dan Muslim) Jadi, ketika itu Aisyah r.a. telah menikah dengan beliau selama duabelas tahun.
Jika teori Four Years Itch berlaku pada diri beliau, dan dengan asumsi bahwa rasa cinta beliau dimulai pada saat nikah, maka tentunya yang paling dicintai beliau pada akhir hayat itu adalah istri terbaru yang belum sampai empat tahun beliau nikahi. Namun, hadits-hadits tersebut mengisyaratkan, yang paling beliau cintai (nomor dua sesudah Khadijah r.a.) justru istri ‘terlama’ (di antara yang masih hidup) yang telah beliau nikahi selama duabelas tahun!
Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa Rasulullah saw. telah membuktikan, gelora asmara itu bisa abadi, sekurang-kurangnya sampai akhir hayat, bukan hanya empat tahun. Selain itu, tampaknya istri yang lebih dia cintai adalah yang lebih lama dan lebih akrab dalam berinteraksi dengan beliau. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya kita bersikap?
Jika Anda dan calon pasangan hidup Anda berkepribadian seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan merasa mustahil meniru pola cinta Rasulullah saw. (terutama terhadap Khadijah r.a. dan Aisyah r.a.), maka mungkin tidak ada salahnya kalian pilih strategi “tidak ada cinta sebelum nikah”. Dengan memulai asmara hanya pada saat ijab-qabul, kalian bisa mengharap gelora cinta yang maksimal selama empat tahun pertama pernikahan.
Akan tetapi, kalau kepribadian Anda dan calon pasangan hidup Anda tidak seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan kalian yakin bahwa pola cinta Rasulullah saw. terhadap lawan-jenis di zaman ‘kuno’ itu bisa diterapkan di era ‘modern’ ini, maka bisa dimengerti bila kalian optimis mampu memperpanjang ‘usia harapan hidup’ si hormon penggelora asmara di tubuh kalian selama mungkin! Meskipun kalian pacaran selama empat tahun sebelum nikah, misalnya, insya’ Allah gelora cinta kalian tidak akan padam pada saat ijab-qabul dan bahkan masa-masa sesudahnya, hingga akhir hayat kalian berdua!
Aisha Chuang menegaskan, asmara islami tak pernah merupakan akhir. Selalu ada kelanjutannya atau harapan bagi yang menjalaninya. Dengan kata lain, cinta sejati merupakan proses yang idealnya berlangsung abadi. (NAI: 50)
Definisi ‘Pacaran’ Sangat Jelas
Di samping “tidak abadinya cinta”, alasan ‘kuat’ lain yang dijadikan andalan untuk mengklaim bahwa mustahil ada pacaran yang islami adalah “ketidakjelasan definisi pacaran”. Benarkah alasan ini kuat? Mari kita kritisi.Sebagian penghujat ‘pacaran islami’ mendefinisikan, “Pacaran adalah aktivitas menumpahkan rasa suka dan sayang kepada lawan jenis.” (JNC: 58) Dalam pandangan saya, definisi tersebut sesat-pikir lantaran ‘terlalu sempit’ dan ‘membingungkan’. (Lihat JSP: 33-34.) Kata ‘menumpahkan’ di situ membingungkan karena bersifat sangat konotatif. Selain itu, di situ hanya diungkap hubungan searah, padahal pacaran adalah aktivitas timbal-balik dua pihak. Jadi, jika definisi tersebut yang dipakai, tentu saja definisi ‘pacaran’ menjadi tidak jelas.
Sementara itu, walau mereka berargumen dengan ‘tidak jelasnya definisi pacaran’, ada kalanya mereka malah berusaha menjelaskan definisi ‘pacaran’. Alasan mereka, “Supaya simpel dan kita nggak terjebak pada definisi yang mengaburkan.” (KHP: 114) Mereka menerangkan: “Pacaran yang nggak jelas definisinya itu, sebenarnya cuma ekspresi … perasaan ‘suka’ pada lawan jenis, terus ditindaklanjuti dengan perilaku-perilaku yang dianggap romantis dan kemudian publik memberikan pengakuan si A pacaran dengan si B, si A pacarnya si B.” (KHP: 113) “Pokoknya yang namanya pacaran tuh, hubungan laki-laki perempuan yang bukan muhrim dalam sebuah komitmen selain Nikah! Titik.” (KHP: 114)
Begitulah mereka berusaha menunjukkan definisi-definisi ‘pacaran’ yang ‘simpel dan tidak mengaburkan’. Padahal, mereka juga menyatakan bahwa definisi ‘pacaran’ tidak jelas. Dengan begitu, saya pandang argumentasi tersebut sesat-pikir lantaran kontradiktif. Mengapa sampai kontradiktif dan bagaimana mengatasinya? Mereka belum menjelaskannya di buku mereka itu. Titik?
“Sudahlah,” seru mereka. “Mendingan kita nggak usah cari-cari kesempatan untuk ikut bagian orang-orang yang menyuburkan aktivitas baku syahwat ini. Abis, nggak jelas, gitu!” (KHP: 114) Tampaknya, pada ‘pokoknya’, mereka mendefinisikan, “pacaran adalah aktivitas baku syahwat yang dilarang oleh Islam (haram).” (JNC: 71)
Namun, dalam pengamatan saya, definisi yang ‘pokok’ tersebut sesat-pikir lantaran ‘menetapkan aksiden’. (Aksiden merupakan sifat yang “dapat ada dan dapat tidak ada”) (JSP: 16). Memang, aktivitas baku-syahwat di luar nikah dilarang oleh Islam. Tapi, apakah pacaran merupakan ‘aktivitas baku-syahwat’? Belum tentu. Dalam pacaran, bisa ada aktivitas baku-syahwat, bisa pula tidak ada aktivitas baku-syahwat!
Mungkin mereka bingung: “Kalau mau didefinisikan bahwa pacaran adalah proses awal untuk saling mengenal sebelum menuju pernikahan, juga nggak sepenuhnya benar. … Nggak semua orang, pacaran diniatin menikah, kan?” (KHP: 113) “Ketidakjelasan definisi pacaran juga terlihat pada ketidakjelasan batasannya. Apakah dua orang yang saling suka dan mengungkapkannya sudah bisa disebut pacaran, atau bahkan yang lebih dari itu masih juga disebut pacaran?” (KHP: 114)
Untuk menjawabnya, mari kita merujuk ke definisi yang dibakukan di buku KBBI, kamus resmi bahasa kita. Buku PIA mengungkap: “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002: 807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” (PIA: 19) “Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut (lihat halaman 542) adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” (PIA: 20)
Jika definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca dengan sangat jelas sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.
Dengan demikian, pacaran yang aktivitasnya “lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas baku-syahwat, itu pun masih dapat disebut ‘pacaran’ (tetapi bukan ‘pacaran islami’)! Sedangkan, pada dua orang yang baru saling mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi belum ada hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran.
Hubungan yang ‘tetap’ itu dapat tercipta dengan ikatan janji atau komitmen untuk menjalin kebersamaan berdasarkan cinta-kasih. Kebersamaan yang disepakati itu bisa berujud apa saja. Dengan demikian, yang tidak diniatkan untuk nikah masih bisa dinyatakan pacaran. Bahkan, ‘hidup bersama tanpa nikah’ pun bisa disebut ‘pacaran’ (tetapi bukan ‘pacaran islami’)!
Ikatan Pacaran Cukup Jelas
Dengan menganggap bahwa “cinta tidak abadi” dan “definisinya tidak jelas”, penghujat-penghujat itu pun berpikiran, “ikatan dalam pacaran tidak jelas.” Mereka mendakwa: “Pacaran hanyalah sebuah ekspresi sesaat bagi orang-orang yang mengaku saling jatuh cinta.” (KHP: 146) “Kata pacar sendiri,” kata mereka, “berasal dari nama sejenis tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali. Tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murahan) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai. Jika suatu waktu [tidak] puas dengan pacarnya, maka dia akan mudah beralih kepada pacarnya yang baru.” (PIA: 19) Mereka menambahkan: “Analogi pacar air menunjukkan —pacar air yang jadi pemerah kuku— apabila telah usang dan pudar warnanya, maka akan diganti dengan pacar yang baru. … Kalau masih merah dan menyenangkan, dipakai. Kalau sudah pudar dan menyebalkan atau bahkan mengotori, diganti.” (KHP: 143)Akan tetapi, analogi mereka tersebut saya pandang sesat-pikir lantaran ‘tidak relevan’. Seharusnya, fakta yang menjadi dasar analogi itu memiliki persamaan yang asasi dengan kenyataan yang dianalogikan. Jika tidak, analogi itu akan “menghasilkan kesimpulan yang salah.” (JSP: 21) Pada analogi ‘pacar air’ tadi, mungkin mereka belum memperhatikan bahwa salah satu sifat asasi pacaran ialah adanya hubungan yang tetap.
Bolehjadi, tidak sedikit orang yang katanya pacaran tapi sering putus-sambung karena “ngerasa bahwa ikatan itu belum paten.” (JNC: 170) Lantas penghujat-penghujat mendakwa, “Ikatan yang nggak jelas itulah yang akhirnya menimbulkan keengganan bertanggung jawab. Betul, nggak?” (KHP: 117) Nggak. “Bayangin,” sindir mereka, “kalau kita cuma jadi pacar. Kita dijadikan pacar oleh orang lain, terus abis gitu —karena [hanya] pacaran, kan sah-sah saja kalau putus-sambung tho?” (KHP: 147) “Bukankah pacaran akhirnya … menjadikan seseorang seperti piala bergilir. Iya, kan?” (KHP: 148) Tidak.
Kita tidak boleh memperlakukan teman-teman lain-jenis sebagai ‘piala bergilir’. Orang yang pacaran dengan maksud “putus-sambung”, maka pacarannya ‘tidak sah’. Sebab, sekali lagi kami ingatkan, pada pacaran harus ada kekasih yang tetap.
Terus, “kalau seseorang yang semula ‘berniat’ cuma pacaran, kemudian ternyata … si cewek pregnant by accident [hamil lantaran ‘kecelakaan’], gimana? Apa bisa disalahkan si cowoknya? Kan, niatnya pacaran? Bisa saja kan, si cowok merasa nggak masalah karena sampai seperti itu masih mereka anggap ‘pacaran’?” (KHP: 116) Tidak bisa!
Si cowok harus bertanggung jawab atas ‘kecelakaan’ itu. Jika Anda kira si cowok tidak dapat disalahkan “karena sampai seperti itu masih mereka anggap ‘pacaran’,” maka Anda sesat-pikir lantaran ‘lempar batu sembunyi tangan’ dengan ‘berlindung pada prinsip umum’. (Lihat JSP: 3-4.)
Menurut prinsip umum, seperti yang disebut di pasal “Definisi” di atas, mereka yang memakai ‘bumbu’ berupa zina itu masih dapat disebut ‘pacaran’. Namun, walau pacaran in itself tidak salah, zina itu perbuatan yang salah! Kita dapat membandingkannya dengan aktivitas perdagangan, misalnya. Walau dilakukan dengan curang, kegiatan itu masih bisa disebut dagang. Tetapi, meski perdagangan itu sendiri pada dasarnya tidak zalim, curang itu perbuatan yang zalim! Jadi, jika Anda kira si pedagang yang curang tidak bersalah karena kendati curang ia masih tergolong berdagang, maka Anda sesat-pikir.
Mungkin mereka pikir, “Pacaran hanyalah aktivitas penuh apologi (alasan) dan ikatan tanpa konsekuensi yang jelas.” (KHP: 128) “Ikatan pacaran tuh,” kata mereka, “sama sekali nggak jelas, baik dari sisi syar’i maupun ikatan sosial dan hukum.” (KHP: 115) Benarkah?
Dipandang dari sisi hukum, komitmen pranikah itu saya lihat ikatannya cukup jelas. Ada undang-undang tertulis yang menetapkan konsekuensi bagi orang yang melanggar janji, menipu, dll. Melanggar janji kesetiaan atau pun menipu pacar tidaklah bebas dari tuntutan hukum. Pihak yang merasa dirugikan berhak memperkarakan.
Dari sisi sosial, saya lihat ikatan pranikah itu cukup jelas juga, meski tidak sejelas pernikahan. Ada norma sosial tak tertulis yang mengatur ‘hak dan kewajiban untuk setia’ bagi orang yang pacaran. Yang tetap setia kepada pacar memperoleh penghargaan sosial, sedangkan yang mengkhianati komitmen ini mendapat sanksi sosial.
Bagaimana dari sisi syar’i? Ada yang mengatakan, “ikatan yang legal dalam pandangan Islam itu hanya ada dua, yakni khitbah (pinangan) dan nikah.” (JNC: 150) Namun, dalam pengamatan saya, setiap perjanjian mengandung ikatan yang sah dan jelas. “Sungguh, setiap janji itu akan diminta pertanggungjawaban.” (al-Israa’ [17]: 34) (Lihat QTT1: 238 dan 704.) Ada ancaman berat, “Barangsiapa melanggar janjinya, maka akibat pelanggarannya akan menimpa dirinya sendiri,” sedangkan kepada orang yang menepati janji, Allah memberi “pahala yang besar” (al-Fath [48]: 10).
Mungkin, jelasnya ikatan pacaran itu dipandang belum memadai. Ada yang mendakwa: “Komitmen untuk ‘tetap setia’ dijamin nggak berlaku bagi orang yang pacaran.” (KHP: 117) “Bagaimana mungkin bisa yakin bahwa seseorang yang selama ini jalan bareng memiliki komitmen untuk tetap setia, lha wong yang terjadi dari waktu ke waktu hanya sebatas saling curhat dan saling take and give yang nggak jelas juntrungnya?” (KHP: 127-128) Bukan begitu!
Komitmen kesetiaan pacar kita itu bisa kita pegang. Mengapa? Karena kita bisa yakin dia beriman kepada Al-Qur’an, menghargai norma sosial, taat hukum, dan berwatak dapat-dipercaya. Lagipula, pacaran kita jelas juntrungnya, tidak hanya sebatas saling curhat. (Untuk contoh pacaran yang jelas juntrungnya, lihat NAI dan BPI.)
Lantas, kalau pun ikatannya jelas, untuk apa pacaran? Bukankah itu “cuma bikin kita terbelenggu pada sebuah ikatan-ikatan semu yang membuat kita tidak merdeka”? (KHP: 117) Bukan begitu.
Di dalam ‘ikatan’ dengan lawan-jenis, menurut Deborah Tannen, terkandung ‘kompensasi’ yang berharga berupa ‘keakraban’ yang ujung-ujungnya berimbas pada ‘rasa aman’ pula. (Lihat RPWP: 25-55.) Jadi, jika Anda lebih membutuhkan kebebasan daripada keakraban, boleh-boleh saja Anda tidak pacaran. Tapi, orang yang pacaran karena lebih memerlukan keakraban daripada kebebasan janganlah Anda cela!
Pacaran Itu Sunnah yang Direstui Nabi
Bolehjadi, di antara sekian banyak argumen, yang paling diandalkan untuk menghujat ‘pacaran islami’ adalah sebagai berikut: “Islam sama sekali tidak mengenal pacaran.” (PIA: 41) “Pacaran bukan dari Islam, melainkan budaya jahiliyah yang harus ditinggalkan oleh segenap remaja muda Islam.” (PIA: 22) “Mestinya kita juga nggak meniru orang-orang jahiliyah dan budaya jahiliyah modern.” (KHP: 171)Benarkah pacaran adalah budaya jahiliyah modern (dari Barat)? Mari kita periksa.
Di Bab 1, kita telah menyimak sindiran Rasulullah saw.: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR ath-Thabrani) Mungkin Anda masih bertanya-tanya: Tidakkah yang dimarahi beliau dengan sindiran tajam itu hanya tindakan ‘menghukum mati tawanan’, bukan perilaku ‘melecehkan aktivitas pacaran’? Untuk memastikannya, mari kita perhatikan asbabul wurud-nya, yaitu latar belakang atau penyebab diucapkannya sabda Rasul tersebut. Kebetulan, hadits selengkapnya telah mencantumkannya.
Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Nabi saw. mengirim satu pasukan [shahabat], lalu mereka memperoleh rampasan perang yang di antaranya terdapat seorang tawanan laki-laki. [Sewaktu interogasi], ia berkata, “Aku bukanlah bagian dari golongan mereka [yang memusuhi Nabi]. Aku hanya jatuh cinta kepada seorang perempuan, lalu aku mengikutinya. Maka biarlah aku memandang dia [dan bertemu dengannya], kemudian lakukanlah kepadaku apa yang kalian inginkan.” Lalu ia dipertemukan dengan seorang wanita [Hubaisy] yang tinggi berkulit coklat, lantas ia bersyair kepadanya, “Wahai dara Hubaisy! Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu! Sudilah dikau kuikuti dan kutemui di suatu rumah mungil atau di lembah sempit antara dua gunung! Tidak benarkah orang yang dilanda asmara berjalan-jalan di kala senja, malam buta, dan siang bolong?” Perempuan itu menjawab, “Baiklah, kutebus dirimu.” Namun, mereka [para shahabat itu] membawa pria itu dan menebas lehernya. Lalu datanglah wanita itu, lantas ia jatuh di atasnya, dan menarik nafas sekali atau dua kali, kemudian meninggal dunia. Setelah mereka bertemu Rasulullah saw., mereka informasikan hal itu [dengan antusias] kepada beliau, tetapi Rasulullah saw. berkata [dengan sindiran tajam]: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR ath-Thabrani dalam Majma’ az-Zawâid 6: 209)
Kita perhatikan, tema utama informasi yang disampaikan oleh para shahabat kepada Rasulullah sehingga beliau bersabda begitu adalah kisah hubungan asmara di luar nikah. Saat itu barangkali mereka kira, perilaku pacaran itu kemunkaran besar yang harus dicegah dengan ‘tangan’ (kekuatan) bila mampu, sedangkan kemampuan ini ada pada mereka selaku pemenang pertempuran. Mereka menghukum mati si lelaki, dan mungkin menyangkanya sebagai perbuatan baik demi mencegah kemunkaran besar. Namun, Rasulullah justru marah.
Sebaliknya, kata Abu Syuqqah, “beliau menampakkan belas kasihnya kepada kedua orang yang sedang dilanda cinta itu” dan menyalahkan perbuatan shahabat. (KW5: 75) Ini menyiratkan, seharusnya si tawanan dibebaskan walau akibatnya kemudian ia melakukan pacaran dengan si dia. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa pacaran (bercintaan dengan kekasih-tetap) merupakan sunnah taqriri, kebiasaan yang direstui Nabi saw..
Sampai di sini mungkin Anda masih penasaran: Manakah istilah ‘pacaran’ dalam hadits tersebut? Jawaban kita: Penyebutannya tidak langsung tersurat, tetapi tersirat.
Untuk sampai ke pengertian itu, kita mengacu pada unsur-unsur ‘pacaran’ yang baku: bercintaan dengan kekasih-tetap. Adakah aktivitas bercintaan di dalamnya? Ada. Ini ditunjukkan oleh ungkapan “Wahai dara Hubaisy, terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu!” dan “Baiklah…” Tampaknya, rasa cinta antara keduanya itu begitu mendalam. Sampai-sampai, si pria mempertaruhkan nyawa untuk dapat bertemu dengan kekasihnya, sedangkan si wanita sampai jatuh dan meninggal dunia di atas jasad kekasihnya. Ini menunjukkan, aktivitas bercintaan itu terjadi antara sepasang kekasih yang tetap, bukan sekadar teman sesaat. Dengan demikian, unsur-unsur ‘pacaran’ yang baku sudah terkandung di dalam hadits tersebut. Jadi, tidaklah mustahil ada ‘pacaran’ (bercintaan dengan kekasih-tetap) yang islami!
Bagaimana dengan ‘kencan’? Aktivitas yang tidak harus ada (walau sering terdapat dalam pacaran) ini tampaknya terkandung pula di dalam hadits ath-Thabrani tadi. Kita melihat, ada janji untuk “saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama”. Jadi, hadits tersebut juga mengisyaratkan bahwa ‘kencan’ (saling bertemu di tempat dan waktu yang disepakati) antar lawan-jenis di luar nikah merupakan sunnah taqriri, kebiasaan yang direstui Nabi saw..
Bagaimana bila sesudah kita kemukakan hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah menghalalkan ‘pacaran’ (bercintaan dengan kekasih-tetap), penghujat-penghujat ‘pacaran islami’ masih berpegang pada fatwa bahwa “pacaran selalu haram” dan “tidak ada pacaran dalam Islam”? Padahal mereka tidak mengemukakan nash yang mengharamkannya? Dalam keadaan begitu, mungkin sebaiknya kita sampaikan ayat: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak [pula] bagi perempuan yang beriman, bila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan [hukum], akan ada bagi mereka pilihan [hukum lain] tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh ia sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzaab [33]: 36)
Mendekati Zinakah Pacaran Islami?
kit yang mengatasnamakan kegiatan masjid, namun mereka bercampur baur
dalam satu kantor yang sempit tanpa hijab [tabir pemisah]. … Sungguh
perilaku yang melecehkan Islam.” (PIA: 24) Kata pendakwa, “Ikhtilat
adalah perilaku yang jelas-jelas mendekatkan diri pada perzinaan.” (PIA:
19)
Mereka kemukakan argumentasi: “Sangat sulit menghindari kontak fisik jika bergerombol bercampur-baur dengan lawan jenis. Padahal Rasulullah saw. mengharamkan bersentuhan kulit antarlawan jenis. Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya.’ (HR. Tabrani) ‘Tangan Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at; bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.’ (HR. Bukhari) Dengan demikian bisa dimengerti mengapa Rasulullah saw. melarang ikhtilat atau campur-baur antarlawan jenis.” (PIA: 42) Tidak kelirukah argumentasi mereka ini?
Sudahkah mereka menghimpun semua hadis shahih dan hasan mengenai ikhtilat? (Lihat BMHN: 106.) Kalau sudah menghimpun, sudahkah mereka berusaha menjamak (mengkompromikan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan? Kalau menjamak itu mustahil, sudahkah mereka mentarjih (mengutamakan dalil yang lebih kuat)? (Lihat MTKDS: 9-73 dan BMHN 118-120.) Tampaknya itu semua belum dilakukan.
Yang terlihat sudah melakukannya dengan cukup lengkap, antara lain, ialah Abdul Halim Abu Syuqqah. Dari pengkajiannya dilaporkan, wajibnya pemakaian tabir pemisah itu khusus bagi istri Nabi. (KW3: 83-167) Tercatat, ada lebih dari 300 hadits shahih Bukhari dan Muslim yang menunjukkan terjadinya ikhtilat pada diri Rasulullah saw. dan para shahabat “dalam berbagai bidang kehidupan”. (KW1: 15) Hampir tidak ada satu pun lapangan kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat perbauran antarlawan-jenis. Abu Syuqqah belum mendapati satu nash pun yang mengisyaratkan, meski sekadar isyarat, untuk menjauhi ikhtilat. Apakah yang terlibat dalam ikhtilat itu hanya dari kalangan tua-jompo atau dalam kondisi darurat saja? Tidak. Sebagian besar nash tersebut bercerita tentang orang dewasa, sebagiannya remaja, dan terjadi berdasarkan kemauan masing-masing. (KW2: 206-207) Jadi, menurut kajian tersebut, perbauran antarlawan-jenis itu kebiasaan yang dijalankan oleh Nabi saw. dan para shahabat.
Lantas, terlarangkah kontak fisik (bersentuhan kulit) di dalam ikhtilat? Apakah “zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim”? (PDKI: 38) Benarkah “sentuhan tangan haram hukumnya” dan “Islam tidak membenarkan laki-laki dan perempuan bersentuhan kulit”? (PIA: 50) Mari kita periksa.
Pertama, kutipan ‘Hadits Tabrani’ tadi perlu dikoreksi dulu. Di kitab Majma’ az-Zawâid (4: 326) dan kitab Shahih al-Jami’ ash-Shaghir (hadits no. 4921), kata yang digunakan adalah “yang tidak halal baginya”, bukan “yang bukan muhrim”. Mengapa perlu dikoreksi? Karena “orang yang tidak halal baginya” tidak selalu dapat ditakwilkan sebagai “orang yang bukan muhrim”. Setelah koreksi ini, kita bisa memeriksanya dengan lebih teliti.
Ternyata, kami dapati, hadits tersebut bersifat zhanni (meragukan), baik dari segi tsubut (sumber) maupun dilalah (petunjuk). Hadits yang bersanad hasan tersebut zhanni-tsubut karena “tidak terlalu dikenal pada masa para Sahabat dan murid-murid mereka” (BMHN: 178). Selain itu, yang lebih ‘meragukan’, hadits itu pun zhanni-dilalah karena mencantumkan dua ungkapan yang bermakna ganda, yaitu ‘menyentuh’ dan ‘yang tidak halal baginya’.
Ungkapan ‘orang yang tidak halal baginya’ di sini bisa mengacu pada ‘setiap orang yang bukan muhrim’, tetapi bisa pula berarti ‘sebagian nonmuhrim yang dalam keadaan tertentu tidak halal bersentuhan kulit dengannya’. Sedangkan kata ‘menyentuh’, dalam banyak nash, merupakan majâz (kiasan). Contohnya, menurut kesepakatan para mufassir dan ahli fiqih, kata ‘menyentuh’ pada Surat al-Ahzaab [33] ayat 49 dan pada Surat Ali ‘Imran [3] ayat 47 berarti “melakukan hubungan seksual”. (BMHN: 178-179)
Untuk mengetahui maksud hadits yang ‘meragukan’ tersebut, kita harus merujuk ke hadits-hadits lain yang qath’i (meyakinkan) mengenai kontak fisik dalam ikhtilat. Adakah? Ya!
Di antaranya, dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Seorang perempuan sahaya [nonmuhrim] dari sahaya-sahaya warga Madinah menggandeng tangan Rasulullah saw. dan pergi bersama beliau ke tempat mana saja yang ia [perempuan itu] kehendaki.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah) Hadits shahih ini menggunakan kata-kata yang lugas, bermakna tunggal, sehingga bersifat qath’i. Meyakinkannya hadits ini dari segi dilalah menjadi tampak lebih jelas dengan adanya tambahan keterangan di dalam versi Ahmad dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw. tidak berusaha melepaskan tangan perempuan tersebut. (FBSSB13: 420, BMHN: 178-180) Contoh kontak fisik lainnya, menurut hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim, rambut kepala Nabi saw. dan shahabat pernah disisir oleh lawan-jenis nonmuhrim. (Lihat KW2: 113-120 dan MCMD: 12-14.) Ini semua menunjukkan, kontak-kontak fisik tersebut tidak diharamkan!
Kemudian, lantaran antara hadits ‘meragukan’ yang mereka jadikan hujjah dan hadits-hadits ‘meyakinkan’ yang baru saja kita kemukakan tampaknya (sepintas lalu) berbeda, kita perlu menggabungkannya secara proporsional, sehingga semuanya “dapat diamalkan” dan “saling menyempurnakan” (BMHN: 118). Hasilnya, kita bisa menerima dua kemungkinan maksud dari hadits Tabrani di atas. Pertama, kita diharamkan bersenggama dengan setiap orang yang bukan suami/istri kita. Kedua, kita dilarang bersentuhan-kulit dengan sebagian lawan-jenis nonmuhrim dalam keadaan tertentu.
Salah satu contoh ‘keadaan tertentu’ itu terdapat dalam hadits shahih riwayat Bukhari (dan Muslim serta Malik, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad), yang telah dinukil si pendakwa tadi. Ternyata, tangan Nabi saw. tidak pernah bersentuhan dengan tangan nonmuhrim dalam bai’at walau beliau mengalaminya dalam kesempatan lain. Abu Syuqqah menerangkan, Rasulullah saw. tidak menyentuh tangan lawan-jenis di dalam bai’at itu lantaran “tidak merasa aman dari fitnah”. Sedangkan dalam keadaan lain, seperti sewaktu rambut kepala beliau disisir nonmuhrim, beliau “merasa aman dari fitnah”. (KW2: 120-121)
Jadi, kalau Anda tidak merasa aman dari fitnah bila bersentuhan kulit dengan lawan-jenis, silakanlah Anda berusaha menghindarinya. Namun, janganlah Anda vonis haram berjabat-tangannya atau pun bergandeng-tangannya pasangan-pasangan yang merasa aman dari fitnah! Sekalipun begitu, kita sendiri jangan asal-asalan melakukan kontak fisik dengan dalih ‘merasa aman dari fitnah’. Sungguh, perasaan kita “akan diminta pertanggungjawaban” (al-Israa’ [17]: 36).
Salah satu dalil yang diajukan oleh mereka yang sepaham dengan si gadis itu adalah ayat: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, Ia menciptakan pasangan-pasangan bagimu dari jenis kamu sendiri, supaya kamu hidup tenteram dengan mereka, dan Ia menanamkan rasa cinta dan kasih di antara kalian.” (ar-Ruum [30]: 21.)
Lantas, dengan adanya ayat ini, sebagian pendakwa menyimpulkan, “jelaslah Islam tidak mengenal cinta sebelum perkawinan.” (PDKI: 34) Jelas? Tidak! Mengapa kita katakan ‘tidak jelas’? Sekurang-kurangnya ada dua alasan. Pertama, kata ‘azwâjâ’ pada ayat ini bersifat zhanni karena bermakna ganda. Walau banyak mufassir menerjemahkannya sebagai ‘istri-istri’, sebagian lainnya menerjemahkannya dengan makna yang lebih luas sebagai ‘pasangan-pasangan’, baik di dalam pernikahan maupun di luarnya. (Lihat QTT2: 1032.) Kedua, meskipun terjemahan ‘istri-istri’ lah yang kita pakai, penyimpulan tadi tetap belum dapat kita terima karena terlihat mengandung sesat-pikir lantaran ‘term pada kesimpulan tidak konsisten dengan term premisnya’. (Lihat JSP: 38.)
Memang, dengan asumsi tersebut, ‘cinta di dalam perkawinan’ (adalah) ‘diakui oleh Islam’. Jelas, ‘cinta sebelum perkawinan’ bukanlah ‘cinta di dalam perkawinan’. Lantas, apakah ‘cinta sebelum perkawinan’ tidak ‘diakui oleh Islam’? Belum tentu. Term pada kesimpulan yang negatif itu tidak konsisten dengan term premisnya yang positif. Jadi, ‘cinta sebelum perkawinan’ belum tentu tidak ‘diakui oleh Islam’.
Sulit menangkap kesesat-pikiran penyimpulan mereka tersebut? Contoh lain yang sederhana berikut ini mungkin dapat mempermudah pemahaman Anda: “Hamka (adalah) manusia. Kita bukanlah Hamka. Jadi, kita bukan manusia?”
Di samping penyimpulan yang keliru itu, berdasarkan Surat ar-Ruum ayat 21 pula mereka lakukan penyimpulan lain yang tampaknya juga sesat-pikir. Argumentasi mereka, dengan adanya ‘virus merah-jambu’ pada seseorang yang pacaran, “dia nggak jadi tambah tenteram, e… malah tambah kacau. Padahal kan, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya merasa tenteram satu sama lain.” (KHP: 171) Lalu mereka simpulkan, “Pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia.” (KHP: 171)
Dalam pengamatan kami, argumentasi mereka tersebut sesat-pikir lantaran ‘kesimpulan tidak partikular’. Kelirunya kesimpulan yang tidak partikular, kata Mundiri, sering terjadi ketika ada “kecenderungan untuk melebih-lebihkan masalah” (JSP: 35). Seharusnya, kesimpulannya: Sebagian pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. (Sebagian perkawinan pun merupakan pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa perceraian dihalalkan dan hukum pernikahan bisa makruh atau bahkan haram dalam keadaan tertentu, walau sunnah atau pun wajib dalam keadaan lain.)
Selain berdasarkan ayat dari Surat an-Nuur tadi, mereka pun berlandaskan sebuah hadits shahih tentang berpahalanya penempatan sperma di tempat yang halal. Lalu mereka simpulkan, “Islam hanya melegalisir percintaan sesudah perkawinan karena dari percintaan di dalam perkawinan inilah terdapat [penyaluran] nafsu syahwat yang dirahmati Allah.” (PDKI: 109) Namun, penyimpulan tersebut kami pandang sesat-pikir juga, kali ini lantaran ‘kekeliruan dalam arus hubungan’. (Lihat JSP: 41-42.)
Memang, hanya di dalam perkawinan kita sajalah terdapat penyaluran nafsu syahwat kita yang dirahmati Allah. Jelas, penyaluran nafsu syahwat yang dirahmati Allah itu percintaan yang Islami. Lantas, apakah percintaan yang Islami hanyalah yang di dalam perkawinan? Belum tentu. Mengapa? Karena pada pacaran atau percintaan di luar perkawinan belum tentu ada penyaluran nafsu syahwat.
Mungkin, mereka berargumen, “Semua aktivitas pacaran selalu menjurus pada seks.” (KHP: 165-166) “Bagaimana tidak? Dalam aktivitas ini, semua hal mubah (boleh) hukumnya; berboncengan, menyentuh, bahkan berciuman pun, saat ini sudah lumrah bahkan lebih dari itu.” (KHP: 139) Benarkah argumen begitu? Tidak.
Mengapa argumen mereka tersebut kami pandang tidak benar? Karena aktivitas pada pacaran menurut definisi baku bukanlah yang disebutkan itu, melainkan “bercintaan”, sedangkan “bercintaan” tidaklah identik dengan aktivitas seksual. Walau ada orang yang menyamakan “bercinta” atau “making love” dengan bersenggama, kita tidak bependapat begitu. Kendati menurut Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis abad-20, “cinta merupakan keinginan seksual yang tertunda,” (PDKI: 58) kita berpandangan lain.
Mereka sendiri mengatakan, “Cinta adalah kebijaksanaan. Penghormatan dan penghargaan terhadap martabat orang lain.” (KHP: 258) Bahkan, mereka yakin, “seks tidak sama dengan cinta. … Cinta adalah perwujudan dari kasih sayang, sementara ngeseks adalah aktivitas biologis.” (JNC: 77) Contohnya pun telah mereka kemukakan: Seorang pemuda berusia 19 tahun “melakukan senggama dua kali sebulan. Partnernya adalah teman-teman sendiri, janda-janda yang kesepian atau tante. [Tetapi] ia tidak pernah … bersenggama dengan pacarnya sendiri.” (PDKI: 54-55) Jadi, pacaran tidak “selalu menjurus pada seks” dan karenanya tidak harus mendekati zina.
Bolehjadi, dalil-dalil aqli tersebut beserta dalil-dalil lain yang kami ungkap sejauh ini belum cukup meyakinkan Anda untuk menyatakan bahwa pacaran pada hakikatnya tidak mendekati zina dan bahwa punya kekasih-tetap bukanlah ‘zina hati’. Mungkin Anda kira, “zinanya hati adalah membayangkan dan mengkhayalkan … yang bukan muhrim” (PDKI: 37-38).
Kalau begitu, sebaiknyalah Anda lebih mencermati pesan Allah bahwa “Tiada dosa bagimu jika … kamu pelihara [sesuatu] itu di dalam kalbu. Allah mengetahui bahwa kamu teringat-ingat kepada mereka.” (al-Baqarah [2]: 235) Dari ayat ini kita pahami, ‘mengingat-ingat’ (merindukan, membayangkan, mengkhayalkan, dsb) kepada nonmuhrim bukanlah ‘zina hati’ dan bukan pula dosa.
Lantas, apa yang dimaksud dengan kata “sesuatu” yang bila kita pelihara di dalam hati bukan tergolong dosa dan bukan ‘zina hati’? Sebagian ulama menafsirkannya sebagai ‘keinginan untuk meminang’, sedangkan sebagian lainnya, termasuk Yusuf Ali dan Abu Syuqqah, menafsirkannya dengan lebih luas sehingga mencakup ‘asmara pranikah’. (Lihat QTT1: 94 dan KW5: 76-77.)
Yang menarik perhatian kita, dua macam penafsiran tersebut sama-sama tidak menolak pemahaman bahwa punya ‘kekasih-tetap’ (sekurang-kurangnya dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dirindukan secara tetap’) bukanlah dosa dan bukan ‘mendekati zina’ pula, walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Pengertian itu diperkuat oleh hadits di bawah ini.
Ibnu Abbas mengabarkan, seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. lalu berkata, “Kami memelihara seorang gadis yatim. Ia dilamar oleh seorang lelaki miskin dan seorang lelaki kaya. Gadis itu lebih condong pada lelaki miskin, sementara kami condong pada lelaki kaya.” Kemudian Nabi Saw. bersabda, “Tiada [sesuatu] yang dapat dinilai [lebih berharga] bagi dua orang yang saling mencintai kecuali perkawinan.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim) Di hadits ini tersirat, Rasulullah saw menghargai orang yang punya ‘kekasih-tetap’ (dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dicintai secara tetap’) walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Nilai asmara pranikah itu bahkan dipandang melebihi harta dan segala kesenangan duniawi lainnya. (Asmara pranikah hanya kalah dari yang di dalam nikah.)
Untuk apa kita persoalkan apa bedanya?! Bukankah yang jauh lebih penting adalah memeriksa Islami-tidaknya aktivitas-aktivitas yang sama antara keduanya itu?
Tidak Islamikah aktivitas kunjungan yang berulang-ulang itu? Ternyata, ada hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menunjukkan, Rasulullah saw. berkunjung ke rumah Ummu Sulaim (atas dasar rasa ‘kasihan’ kepadanya) secara “terus-menerus” (KW1: 244). Tidak Islamikah aktivitas interaksi yang intensif? Ternyata, intensitas interaksi mereka berdua diceritakan dalam banyak hadits. (Lihat KW1: 243-251.) Salah satunya, kata Anas r.a., “Adalah Nabi saw. setiap kali lewat di dekat Ummu Sulaim, beliau singgah menemuinya.” (HR Bukhari) Jadi, walau ‘tidak ada’ bedanya dengan pacaran, ‘ta’aruf’ yang diisi dengan kunjungan yang berulang-ulang ke rumah nonmuhrim tertentu dan interaksi yang intensif dengan nonmuhrim tertentu itu merupakan sunnah Nabi saw..
Apakah Ummu Sulaim itu seorang nenek tua-renta yang sudah tidak memiliki daya-tarik seksual bagi kaum laki-laki? Tidak. Ia adalah seorang wanita muda yang tergolong sangat menarik, sehingga dipinang dan kemudian dijadikan istri oleh Abu Thalhah, sedangkan Abu Thalhah adalah orang terkaya di Madinah. Ada yang mengira, Ummu Sulaim itu muhrim beliau lantaran persusuan. Namun, ad-Dimyati memastikan, Ummu Sulaim bukanlah muhrim Rasulullah saw.. Ada yang menyangka, keintiman mereka hanya terjadi sebelum turunnya ayat hijab (al-Ahzaab [33]: 53). Padahal, sesudah ayat hijab diturunkan pun, beliau pernah tidur siang di rumahnya dan tidak mengurangi frekuensi kunjungannya. Apakah aktivitas-aktivitas beliau yang ‘tidak ada bedanya dengan pacaran’ itu khusus bagi Rasul? Tidak. Shahabat-shahabat pun berakrab-akrab dengan lawan-jenis nonmuhrim. Contohnya, dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dikabarkan, rambut kepala Abu Musa disisir dan dibersihkan oleh seorang nonmuhrim. (Lihat KW3: 31-32; KW1: 240-251; dan MCMD: 12-14.)
Akan tetapi, sekalipun saling kunjung itu merupakan sunnah Rasul, beliau meminta kita untuk waspada. Sabda beliau: “‘Awaslah kalian masuk ke tempat wanita.’ Seorang pria Anshar bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan ipar [dan semisalnya dari kalangan kerabat suami, seperti anak paman dan lainnya]?’ Beliau menjawab, ‘Ipar itu maut.’” (HR Bukhari dan Muslim) “Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari) “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir janganlah ia berduaan dengan lawan-jenis yang tidak didampingi muhrimnya. Sebab, bila demikian, syetanlah pihak ketiganya.” (HR Ahmad)
Mungkin atas dasar sabda-sabda itu, sebagian orang mengharamkan segala macam aktivitas berduaan pria-wanita yang tidak ditemani muhrim. Ada yang berpandangan, ngobrol berdua dan jalan-jalan berdua merupakan “perbuatan dosa” (JNC: 173). Pergi berdua ke tempat pengajian pun, menurut mereka, tergolong “berkhalwat” yang terlarang (KHP: 153). Kata mereka pula, berkencan (berjanji untuk bertemu) sudah tergolong “maksiat” (PDKI: 69).
Kita terimakah pandangan mereka itu? Tidak! Mengapa? Karena, sebagaimana dalam persoalan ikhtilat dan asmara pranikah, pemahaman mereka terhadap hadits-hadits itu belum memadai. Kali ini, mereka belum menghimpun semua hadits (shahih dan hasan) mengenai ‘berduaan’. Padahal, sebagaimana tersebut di bawah, ada hadits-hadits shahih lain yang menunjukkan, ada kalanya berduaan itu tidak tercela.
Dapatkah dua macam hadits yang kelihatannya bertentangan tersebut dijamak (dikompromikan)? Ya. Mengapa? Karena yang satu (yaitu yang menunjukkan larangan berduaan) bersifat ‘âm (umum), sedangkan yang lainnya (yaitu yang menunjukkan bolehnya berduaan) bersifat khâs (khusus). Menurut kaidah ushul fiqih, dalam penjamakan begitu, dalil yang khâs lebih diutamakan daripada yang ‘âm. (Lihat MTKDS: 134-146.) Hasilnya, dapat kita nyatakan bahwa kita boleh berduaan dalam keadaan tertentu.
Salah satu hadits shahih yang menunjukkan bolehnya kita berduaan adalah sebagai berikut: Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw, lalu beliau berduaan dengannya dan berkata: “Demi Allah! Sungguh kalian [orang-orang Anshar] adalah orang-orang yang paling aku cintai.” (HR Bukhari dan Muslim) Melihat hadits ini, Imam Bukhari menyatakan, kita boleh berkhalwat “di dekat orang banyak” (KW2: 124).
Maksudnya, menurut Hafizh Ibnu Hajar, Nabi saw. tidak berkhalwat dengan nonmuhrim, kecuali bila keadaan mereka berdua tidak tertutup dari pandangan mata orang lain dan suara mereka berdua dapat terdengar orang lain, walaupun orang lain itu tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka perbincangkan (FBSSB11: 246-247). Jadi, bukanlah tak berdasar jika kita nyatakan: Kita boleh berduaan bila terawasi, yaitu dalam keadaan yang bilamana terlihat tanda-tanda zina, yang ‘kecil’ sekalipun, “akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah perbuatan ini”. (MCMD: 130)
Hadits tersebut juga menunjukkan, dalam pemahaman Ibnu Hajar, bahwa ngobrol berdua dengan nonmuhrim secara rahasia (isinya tidak tertangkap orang lain) pada dasarnya tidak tercela. Sekalipun obrolan itu berisi “curhat masalah pribadi” (JNC: 43), itu pun masih tidak tercela. Apalagi, ada hadits shahih lain tentang curhat Ummu Darda kepada Salman, saudara-angkat Abu Darda (suami Ummu Darda): “Salman melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Ummu Darda menjawab: ‘Saudaramu, Abu Darda, tidak begitu peduli pada dunia.’ ….” (HR Bukhari) Tidak tercelanya curhat masalah pribadi dan khalwat yang terawasi itu tersirat pula dalam hadits shahih berikut ini.
Ada seorang wanita punya persoalan yang mengganjal pikirannya. Dia [menemui Nabi saw. lalu] berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ada perlu denganmu.” Nabi saw. menjawab, “Wahai Ummu Fulan! Pilihlah jalan mana yang kamu inginkan, sehingga aku bisa memenuhi keperluanmu!” Kemudian beliau pergi bersama perempuan itu melewati satu jalan sampai keperluannya selesai. (HR Muslim)
Di samping tentang curhat dan berduaan, hadits yang baru saja kita baca ini mengandung peristiwa kencan juga. Dengan demikian, kencan (saling bertemu di tempat yang disepakati) bukanlah khalwat yang terlarang. Bahkan, kendati pertemuan itu berlangsung antarlawan-jenis yang dilanda asmara, itu pun tidak tercela. (Lihat pula hadits yang disebut di Bab 2, yaitu yang mengisahkan percintaan seorang pemuda dengan seorang gadis Hubaisy.)
Namun, tentu saja, syarat ‘terawasi’ harus terpenuhi. Jika tidak, maka kita mesti memperhatikan nash-nash yang telah kita simak tadi, yaitu yang menunjukkan larangan khalwat. Kalau berduaan “tanpa sepengetahuan orang lain” (PIA: 37), maka khalwat itu menjadi terlarang.
Mereka mengemukakan dalil: “Firman Allah Swt: ‘Dan janganlah kamu dekati zina (mendekati zina adalah segala tindakan yang menjurus kepada zina, seperti berpandangan, berduaan, bergandengan tangan, berpacaran, berciuman, dstnya), sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.’ (Qs. al-Isra’: 32)” (PDKI: 79)
Sebelum memeriksa isi dalil tersebut, saya hendak mengkritik cara penulisannya. Di situ, kalimat “mendekati zina adalah … dstnya”, walau diletakkan di antara tanda kurung, terlihat lebih menonjol daripada kalimat di luar kurung. (17 kata berbanding dengan 13 kata.) Cara penempatan begitu, di dalam penerjemahan Al-Qur’an, saya rasa sangat riskan. Terus terang, saya merasa sangat keberatan bahwa terjemahan firman Allah Yang Mahasuci disisipi begitu. Mengapa? Karena bisa menimbulkan kesan di mata pembaca bahwa kalimat tersebut bagian (tersirat) dari Al-Qur’an. Padahal, itu hanya merupakan tafsiran akal yang bahkan tidak didasarkan pada nash lain sama sekali. (Pada buku-buku terjemahan pada umumnya, yang diletakkan di dalam tanda kurung hanyalah ‘kata penjelas’. Adapun ‘kalimat atau ungkapan tafsiran’ biasanya diletakkan di bawahnya untuk menegaskan keterpisahannya.)
Bagaimana dengan isi dalil tersebut? Saya memandang, terjemahan ayat di situ tidak bermasalah. Namun, makna ‘mendekati zina’ atau ‘menjurus kepada zina’ yang mereka ajukan itu menurut saya perlu dikoreksi.
Mengenai ‘berciuman’, kita tidak membantah bahwa itu tergolong ‘mendekati zina’. Namun, benarkah “berduaan, bergandengan tangan, berpacaran” mendekati zina? Tidak selalu. Sebagaimana yang termaktub di atas, itu semua belum tentu mendekati zina.
Adapun digolongkannya ‘berpandangan’ dengan lawan-jenis sebagai ‘menjurus kepada zina’, tampaknya itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpandangan itu tidak selalu terlarang. Bahkan, ada kalanya justru merupakan kebaikan. Contohnya, “Salman melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ …” (HR Bukhari)
Bagaimana dengan perintah menundukkan pandangan? “Katakanlah kepada lelaki-lelaki beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; itulah yang lebih bersih untuk mereka. … Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; janganlah memamerkan kecantikan dan perhiasan mereka, kecuali [yang biasa] terlihat; ….” (an-Nuur [24]: 30-31.)
Dalam penafsiran Abu Syuqqah dan Yusuf Ali, maksudnya adalah larangan “menyebarkan pandangan ke sana kemari” dalam keadaan-keadaan yang “menyangkut aurat” dan “sopan-santun”. (KW2: 108 dan QTT2: 892). Dengan demikian, ketika tidak merangsang syahwat dan tidak berkesan kurang ajar, saling berpandangan dengan nonmuhrim bukanlah ‘zina mata’.
Tidakkah “pandangan mata terhadap lawan jenis secara psikologis dapat menimbulkan dorongan seksual” (PIA: 48), sehingga tergolong ‘mendekati zina’? Belum tentu. Dari kajian Abu Syuqqah terhadap semua hadits shahih yang relevan dengan persoalan ini, khususnya riwayat Bukhari dan Muslim, disimpulkan bahwa sesuatu yang dikhawatirkan “akan menimbulkan fitnah” (atau “dapat memancing syahwat”) belum bisa digolongkan sebagai ‘mendekati zina’. (KW3: 298-299)
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan ‘mendekati zina’? Ibnu Abbas mengatakan, “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mirip dosa kecil, kecuali apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Nabi saw., ‘Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat (sesuatu), zinanya lidah adalah mengucapkan (sesuatu), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (sesuatu), kemudian kemaluan yang membenarkan atau menolak itu semua.’” (HR Bukhari dan Muslim) Dengan memperhatikan penggunaan kata ‘kemaluan’ pada hadits ini dan pada Surat an-Nuur [24] ayat 30-31, kami memahami ‘zina kecil’ (atau ‘mendekati zina’) sebagai aktivitas selain alat-kelamin yang pada kenyataannya (bukan lagi ‘akan’ atau pun ‘dapat’) memancing syahwat (atau membangkitkan nafsu birahi) atau “yang dimaksudkan untuk menyalurkan hasrat birahi di luar hubungan suami-istri” (MCMD: 122). Dengan begitu, bisa kita katakan bahwa ‘pacaran islami’ tidak ‘mendekati zina’ (dan bukan ‘zina kecil’).
“Pacaran islami yang gimana, coba?” protes sebagian penghujat. “Yang kalau nulis surat romantis pakai kalimat thoyyibah? Yang mengganti dan mencari pembenaran ‘apel’ dengan ‘menjalin silaturahim’? Yang ngajakin yayangnya pengajian? Diboncengin, tapi nggak nyentuh? Gimana kalau ngerem mendadak? Yang ngaku ‘kakak’ atau ‘adek’? Weleh-weleh!” (KHP: 169) “Tidak bisa dikatakan pacaran Islami hanya karena saat berkunjung memakai baju koko, masuk rumah pacar mengucapkan salam, mau pegangan tangan baca bismilah, saat selesai ciuman mengucapkan alhamdulilah dan selesai zina cukup mengucapkan istighfar.” (PIA: 24)
Pertanyaan kita: Apa salahnya masuk rumah pacar mengucap salam, saat berkunjung memakai baju koko atau jilbab, berboncengan ke tempat pengajian dengan berusaha keras untuk tidak saling bersentuhan? Apa salahnya menyebut ‘kakak’ atau ‘adek’? Apa salahnya menulis surat cinta dengan kata-kata romantis seperti “Wahai dara Melayu! Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu! Sudilah dikau kutemui dan kutemani di suatu kafe mungil, atau di taman sempit antara dua gedung pencakar langit!”? Tidak adakah di antara kita orang yang penyayang?
Mereka kemukakan argumentasi: “Sangat sulit menghindari kontak fisik jika bergerombol bercampur-baur dengan lawan jenis. Padahal Rasulullah saw. mengharamkan bersentuhan kulit antarlawan jenis. Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya.’ (HR. Tabrani) ‘Tangan Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at; bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.’ (HR. Bukhari) Dengan demikian bisa dimengerti mengapa Rasulullah saw. melarang ikhtilat atau campur-baur antarlawan jenis.” (PIA: 42) Tidak kelirukah argumentasi mereka ini?
Sudahkah mereka menghimpun semua hadis shahih dan hasan mengenai ikhtilat? (Lihat BMHN: 106.) Kalau sudah menghimpun, sudahkah mereka berusaha menjamak (mengkompromikan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan? Kalau menjamak itu mustahil, sudahkah mereka mentarjih (mengutamakan dalil yang lebih kuat)? (Lihat MTKDS: 9-73 dan BMHN 118-120.) Tampaknya itu semua belum dilakukan.
Yang terlihat sudah melakukannya dengan cukup lengkap, antara lain, ialah Abdul Halim Abu Syuqqah. Dari pengkajiannya dilaporkan, wajibnya pemakaian tabir pemisah itu khusus bagi istri Nabi. (KW3: 83-167) Tercatat, ada lebih dari 300 hadits shahih Bukhari dan Muslim yang menunjukkan terjadinya ikhtilat pada diri Rasulullah saw. dan para shahabat “dalam berbagai bidang kehidupan”. (KW1: 15) Hampir tidak ada satu pun lapangan kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat perbauran antarlawan-jenis. Abu Syuqqah belum mendapati satu nash pun yang mengisyaratkan, meski sekadar isyarat, untuk menjauhi ikhtilat. Apakah yang terlibat dalam ikhtilat itu hanya dari kalangan tua-jompo atau dalam kondisi darurat saja? Tidak. Sebagian besar nash tersebut bercerita tentang orang dewasa, sebagiannya remaja, dan terjadi berdasarkan kemauan masing-masing. (KW2: 206-207) Jadi, menurut kajian tersebut, perbauran antarlawan-jenis itu kebiasaan yang dijalankan oleh Nabi saw. dan para shahabat.
Lantas, terlarangkah kontak fisik (bersentuhan kulit) di dalam ikhtilat? Apakah “zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim”? (PDKI: 38) Benarkah “sentuhan tangan haram hukumnya” dan “Islam tidak membenarkan laki-laki dan perempuan bersentuhan kulit”? (PIA: 50) Mari kita periksa.
Pertama, kutipan ‘Hadits Tabrani’ tadi perlu dikoreksi dulu. Di kitab Majma’ az-Zawâid (4: 326) dan kitab Shahih al-Jami’ ash-Shaghir (hadits no. 4921), kata yang digunakan adalah “yang tidak halal baginya”, bukan “yang bukan muhrim”. Mengapa perlu dikoreksi? Karena “orang yang tidak halal baginya” tidak selalu dapat ditakwilkan sebagai “orang yang bukan muhrim”. Setelah koreksi ini, kita bisa memeriksanya dengan lebih teliti.
Ternyata, kami dapati, hadits tersebut bersifat zhanni (meragukan), baik dari segi tsubut (sumber) maupun dilalah (petunjuk). Hadits yang bersanad hasan tersebut zhanni-tsubut karena “tidak terlalu dikenal pada masa para Sahabat dan murid-murid mereka” (BMHN: 178). Selain itu, yang lebih ‘meragukan’, hadits itu pun zhanni-dilalah karena mencantumkan dua ungkapan yang bermakna ganda, yaitu ‘menyentuh’ dan ‘yang tidak halal baginya’.
Ungkapan ‘orang yang tidak halal baginya’ di sini bisa mengacu pada ‘setiap orang yang bukan muhrim’, tetapi bisa pula berarti ‘sebagian nonmuhrim yang dalam keadaan tertentu tidak halal bersentuhan kulit dengannya’. Sedangkan kata ‘menyentuh’, dalam banyak nash, merupakan majâz (kiasan). Contohnya, menurut kesepakatan para mufassir dan ahli fiqih, kata ‘menyentuh’ pada Surat al-Ahzaab [33] ayat 49 dan pada Surat Ali ‘Imran [3] ayat 47 berarti “melakukan hubungan seksual”. (BMHN: 178-179)
Untuk mengetahui maksud hadits yang ‘meragukan’ tersebut, kita harus merujuk ke hadits-hadits lain yang qath’i (meyakinkan) mengenai kontak fisik dalam ikhtilat. Adakah? Ya!
Di antaranya, dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Seorang perempuan sahaya [nonmuhrim] dari sahaya-sahaya warga Madinah menggandeng tangan Rasulullah saw. dan pergi bersama beliau ke tempat mana saja yang ia [perempuan itu] kehendaki.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah) Hadits shahih ini menggunakan kata-kata yang lugas, bermakna tunggal, sehingga bersifat qath’i. Meyakinkannya hadits ini dari segi dilalah menjadi tampak lebih jelas dengan adanya tambahan keterangan di dalam versi Ahmad dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw. tidak berusaha melepaskan tangan perempuan tersebut. (FBSSB13: 420, BMHN: 178-180) Contoh kontak fisik lainnya, menurut hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim, rambut kepala Nabi saw. dan shahabat pernah disisir oleh lawan-jenis nonmuhrim. (Lihat KW2: 113-120 dan MCMD: 12-14.) Ini semua menunjukkan, kontak-kontak fisik tersebut tidak diharamkan!
Kemudian, lantaran antara hadits ‘meragukan’ yang mereka jadikan hujjah dan hadits-hadits ‘meyakinkan’ yang baru saja kita kemukakan tampaknya (sepintas lalu) berbeda, kita perlu menggabungkannya secara proporsional, sehingga semuanya “dapat diamalkan” dan “saling menyempurnakan” (BMHN: 118). Hasilnya, kita bisa menerima dua kemungkinan maksud dari hadits Tabrani di atas. Pertama, kita diharamkan bersenggama dengan setiap orang yang bukan suami/istri kita. Kedua, kita dilarang bersentuhan-kulit dengan sebagian lawan-jenis nonmuhrim dalam keadaan tertentu.
Salah satu contoh ‘keadaan tertentu’ itu terdapat dalam hadits shahih riwayat Bukhari (dan Muslim serta Malik, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad), yang telah dinukil si pendakwa tadi. Ternyata, tangan Nabi saw. tidak pernah bersentuhan dengan tangan nonmuhrim dalam bai’at walau beliau mengalaminya dalam kesempatan lain. Abu Syuqqah menerangkan, Rasulullah saw. tidak menyentuh tangan lawan-jenis di dalam bai’at itu lantaran “tidak merasa aman dari fitnah”. Sedangkan dalam keadaan lain, seperti sewaktu rambut kepala beliau disisir nonmuhrim, beliau “merasa aman dari fitnah”. (KW2: 120-121)
Jadi, kalau Anda tidak merasa aman dari fitnah bila bersentuhan kulit dengan lawan-jenis, silakanlah Anda berusaha menghindarinya. Namun, janganlah Anda vonis haram berjabat-tangannya atau pun bergandeng-tangannya pasangan-pasangan yang merasa aman dari fitnah! Sekalipun begitu, kita sendiri jangan asal-asalan melakukan kontak fisik dengan dalih ‘merasa aman dari fitnah’. Sungguh, perasaan kita “akan diminta pertanggungjawaban” (al-Israa’ [17]: 36).
Punya Kekasih-Tetap Tidak Mendekati Zina
Seorang gadis yang merasa tak aman dari dosa ‘zina hati’ menyampaikan curhat sebagai berikut: “Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan SMS begini [I love you because Allah], bahkan tengah malam dan dari seorang ikhwan yang semestinya paham bahwa SMS-SMS begini bikin salah tafsir. Bukannya saya GR. Saya takut zina [hati]… Saya mending dirajam di dunia deh, daripada saya terus-terusan nyerempet-nyerempet zina begini.” (KHP: 225)Salah satu dalil yang diajukan oleh mereka yang sepaham dengan si gadis itu adalah ayat: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, Ia menciptakan pasangan-pasangan bagimu dari jenis kamu sendiri, supaya kamu hidup tenteram dengan mereka, dan Ia menanamkan rasa cinta dan kasih di antara kalian.” (ar-Ruum [30]: 21.)
Lantas, dengan adanya ayat ini, sebagian pendakwa menyimpulkan, “jelaslah Islam tidak mengenal cinta sebelum perkawinan.” (PDKI: 34) Jelas? Tidak! Mengapa kita katakan ‘tidak jelas’? Sekurang-kurangnya ada dua alasan. Pertama, kata ‘azwâjâ’ pada ayat ini bersifat zhanni karena bermakna ganda. Walau banyak mufassir menerjemahkannya sebagai ‘istri-istri’, sebagian lainnya menerjemahkannya dengan makna yang lebih luas sebagai ‘pasangan-pasangan’, baik di dalam pernikahan maupun di luarnya. (Lihat QTT2: 1032.) Kedua, meskipun terjemahan ‘istri-istri’ lah yang kita pakai, penyimpulan tadi tetap belum dapat kita terima karena terlihat mengandung sesat-pikir lantaran ‘term pada kesimpulan tidak konsisten dengan term premisnya’. (Lihat JSP: 38.)
Memang, dengan asumsi tersebut, ‘cinta di dalam perkawinan’ (adalah) ‘diakui oleh Islam’. Jelas, ‘cinta sebelum perkawinan’ bukanlah ‘cinta di dalam perkawinan’. Lantas, apakah ‘cinta sebelum perkawinan’ tidak ‘diakui oleh Islam’? Belum tentu. Term pada kesimpulan yang negatif itu tidak konsisten dengan term premisnya yang positif. Jadi, ‘cinta sebelum perkawinan’ belum tentu tidak ‘diakui oleh Islam’.
Sulit menangkap kesesat-pikiran penyimpulan mereka tersebut? Contoh lain yang sederhana berikut ini mungkin dapat mempermudah pemahaman Anda: “Hamka (adalah) manusia. Kita bukanlah Hamka. Jadi, kita bukan manusia?”
Di samping penyimpulan yang keliru itu, berdasarkan Surat ar-Ruum ayat 21 pula mereka lakukan penyimpulan lain yang tampaknya juga sesat-pikir. Argumentasi mereka, dengan adanya ‘virus merah-jambu’ pada seseorang yang pacaran, “dia nggak jadi tambah tenteram, e… malah tambah kacau. Padahal kan, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya merasa tenteram satu sama lain.” (KHP: 171) Lalu mereka simpulkan, “Pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia.” (KHP: 171)
Dalam pengamatan kami, argumentasi mereka tersebut sesat-pikir lantaran ‘kesimpulan tidak partikular’. Kelirunya kesimpulan yang tidak partikular, kata Mundiri, sering terjadi ketika ada “kecenderungan untuk melebih-lebihkan masalah” (JSP: 35). Seharusnya, kesimpulannya: Sebagian pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. (Sebagian perkawinan pun merupakan pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa perceraian dihalalkan dan hukum pernikahan bisa makruh atau bahkan haram dalam keadaan tertentu, walau sunnah atau pun wajib dalam keadaan lain.)
Selain berdasarkan ayat dari Surat an-Nuur tadi, mereka pun berlandaskan sebuah hadits shahih tentang berpahalanya penempatan sperma di tempat yang halal. Lalu mereka simpulkan, “Islam hanya melegalisir percintaan sesudah perkawinan karena dari percintaan di dalam perkawinan inilah terdapat [penyaluran] nafsu syahwat yang dirahmati Allah.” (PDKI: 109) Namun, penyimpulan tersebut kami pandang sesat-pikir juga, kali ini lantaran ‘kekeliruan dalam arus hubungan’. (Lihat JSP: 41-42.)
Memang, hanya di dalam perkawinan kita sajalah terdapat penyaluran nafsu syahwat kita yang dirahmati Allah. Jelas, penyaluran nafsu syahwat yang dirahmati Allah itu percintaan yang Islami. Lantas, apakah percintaan yang Islami hanyalah yang di dalam perkawinan? Belum tentu. Mengapa? Karena pada pacaran atau percintaan di luar perkawinan belum tentu ada penyaluran nafsu syahwat.
Mungkin, mereka berargumen, “Semua aktivitas pacaran selalu menjurus pada seks.” (KHP: 165-166) “Bagaimana tidak? Dalam aktivitas ini, semua hal mubah (boleh) hukumnya; berboncengan, menyentuh, bahkan berciuman pun, saat ini sudah lumrah bahkan lebih dari itu.” (KHP: 139) Benarkah argumen begitu? Tidak.
Mengapa argumen mereka tersebut kami pandang tidak benar? Karena aktivitas pada pacaran menurut definisi baku bukanlah yang disebutkan itu, melainkan “bercintaan”, sedangkan “bercintaan” tidaklah identik dengan aktivitas seksual. Walau ada orang yang menyamakan “bercinta” atau “making love” dengan bersenggama, kita tidak bependapat begitu. Kendati menurut Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis abad-20, “cinta merupakan keinginan seksual yang tertunda,” (PDKI: 58) kita berpandangan lain.
Mereka sendiri mengatakan, “Cinta adalah kebijaksanaan. Penghormatan dan penghargaan terhadap martabat orang lain.” (KHP: 258) Bahkan, mereka yakin, “seks tidak sama dengan cinta. … Cinta adalah perwujudan dari kasih sayang, sementara ngeseks adalah aktivitas biologis.” (JNC: 77) Contohnya pun telah mereka kemukakan: Seorang pemuda berusia 19 tahun “melakukan senggama dua kali sebulan. Partnernya adalah teman-teman sendiri, janda-janda yang kesepian atau tante. [Tetapi] ia tidak pernah … bersenggama dengan pacarnya sendiri.” (PDKI: 54-55) Jadi, pacaran tidak “selalu menjurus pada seks” dan karenanya tidak harus mendekati zina.
Bolehjadi, dalil-dalil aqli tersebut beserta dalil-dalil lain yang kami ungkap sejauh ini belum cukup meyakinkan Anda untuk menyatakan bahwa pacaran pada hakikatnya tidak mendekati zina dan bahwa punya kekasih-tetap bukanlah ‘zina hati’. Mungkin Anda kira, “zinanya hati adalah membayangkan dan mengkhayalkan … yang bukan muhrim” (PDKI: 37-38).
Kalau begitu, sebaiknyalah Anda lebih mencermati pesan Allah bahwa “Tiada dosa bagimu jika … kamu pelihara [sesuatu] itu di dalam kalbu. Allah mengetahui bahwa kamu teringat-ingat kepada mereka.” (al-Baqarah [2]: 235) Dari ayat ini kita pahami, ‘mengingat-ingat’ (merindukan, membayangkan, mengkhayalkan, dsb) kepada nonmuhrim bukanlah ‘zina hati’ dan bukan pula dosa.
Lantas, apa yang dimaksud dengan kata “sesuatu” yang bila kita pelihara di dalam hati bukan tergolong dosa dan bukan ‘zina hati’? Sebagian ulama menafsirkannya sebagai ‘keinginan untuk meminang’, sedangkan sebagian lainnya, termasuk Yusuf Ali dan Abu Syuqqah, menafsirkannya dengan lebih luas sehingga mencakup ‘asmara pranikah’. (Lihat QTT1: 94 dan KW5: 76-77.)
Yang menarik perhatian kita, dua macam penafsiran tersebut sama-sama tidak menolak pemahaman bahwa punya ‘kekasih-tetap’ (sekurang-kurangnya dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dirindukan secara tetap’) bukanlah dosa dan bukan ‘mendekati zina’ pula, walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Pengertian itu diperkuat oleh hadits di bawah ini.
Ibnu Abbas mengabarkan, seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. lalu berkata, “Kami memelihara seorang gadis yatim. Ia dilamar oleh seorang lelaki miskin dan seorang lelaki kaya. Gadis itu lebih condong pada lelaki miskin, sementara kami condong pada lelaki kaya.” Kemudian Nabi Saw. bersabda, “Tiada [sesuatu] yang dapat dinilai [lebih berharga] bagi dua orang yang saling mencintai kecuali perkawinan.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim) Di hadits ini tersirat, Rasulullah saw menghargai orang yang punya ‘kekasih-tetap’ (dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dicintai secara tetap’) walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Nilai asmara pranikah itu bahkan dipandang melebihi harta dan segala kesenangan duniawi lainnya. (Asmara pranikah hanya kalah dari yang di dalam nikah.)
Boleh Berduaan Bila Terawasi
Sebagian penghujat mendakwa, “Seringkali, banyak pasangan yang terjebak pacaran dengan sampul ta’aruf. … Ya, apa bedanya dengan pacaran bila ada rutinitas kunjungan, intensitas interaksi, dan komunikasi yang melegitimasi silaturahmi dengan embel-embel ‘ingin lebih mengenal’?” (KHP: 156-157)Untuk apa kita persoalkan apa bedanya?! Bukankah yang jauh lebih penting adalah memeriksa Islami-tidaknya aktivitas-aktivitas yang sama antara keduanya itu?
Tidak Islamikah aktivitas kunjungan yang berulang-ulang itu? Ternyata, ada hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menunjukkan, Rasulullah saw. berkunjung ke rumah Ummu Sulaim (atas dasar rasa ‘kasihan’ kepadanya) secara “terus-menerus” (KW1: 244). Tidak Islamikah aktivitas interaksi yang intensif? Ternyata, intensitas interaksi mereka berdua diceritakan dalam banyak hadits. (Lihat KW1: 243-251.) Salah satunya, kata Anas r.a., “Adalah Nabi saw. setiap kali lewat di dekat Ummu Sulaim, beliau singgah menemuinya.” (HR Bukhari) Jadi, walau ‘tidak ada’ bedanya dengan pacaran, ‘ta’aruf’ yang diisi dengan kunjungan yang berulang-ulang ke rumah nonmuhrim tertentu dan interaksi yang intensif dengan nonmuhrim tertentu itu merupakan sunnah Nabi saw..
Apakah Ummu Sulaim itu seorang nenek tua-renta yang sudah tidak memiliki daya-tarik seksual bagi kaum laki-laki? Tidak. Ia adalah seorang wanita muda yang tergolong sangat menarik, sehingga dipinang dan kemudian dijadikan istri oleh Abu Thalhah, sedangkan Abu Thalhah adalah orang terkaya di Madinah. Ada yang mengira, Ummu Sulaim itu muhrim beliau lantaran persusuan. Namun, ad-Dimyati memastikan, Ummu Sulaim bukanlah muhrim Rasulullah saw.. Ada yang menyangka, keintiman mereka hanya terjadi sebelum turunnya ayat hijab (al-Ahzaab [33]: 53). Padahal, sesudah ayat hijab diturunkan pun, beliau pernah tidur siang di rumahnya dan tidak mengurangi frekuensi kunjungannya. Apakah aktivitas-aktivitas beliau yang ‘tidak ada bedanya dengan pacaran’ itu khusus bagi Rasul? Tidak. Shahabat-shahabat pun berakrab-akrab dengan lawan-jenis nonmuhrim. Contohnya, dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dikabarkan, rambut kepala Abu Musa disisir dan dibersihkan oleh seorang nonmuhrim. (Lihat KW3: 31-32; KW1: 240-251; dan MCMD: 12-14.)
Akan tetapi, sekalipun saling kunjung itu merupakan sunnah Rasul, beliau meminta kita untuk waspada. Sabda beliau: “‘Awaslah kalian masuk ke tempat wanita.’ Seorang pria Anshar bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan ipar [dan semisalnya dari kalangan kerabat suami, seperti anak paman dan lainnya]?’ Beliau menjawab, ‘Ipar itu maut.’” (HR Bukhari dan Muslim) “Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari) “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir janganlah ia berduaan dengan lawan-jenis yang tidak didampingi muhrimnya. Sebab, bila demikian, syetanlah pihak ketiganya.” (HR Ahmad)
Mungkin atas dasar sabda-sabda itu, sebagian orang mengharamkan segala macam aktivitas berduaan pria-wanita yang tidak ditemani muhrim. Ada yang berpandangan, ngobrol berdua dan jalan-jalan berdua merupakan “perbuatan dosa” (JNC: 173). Pergi berdua ke tempat pengajian pun, menurut mereka, tergolong “berkhalwat” yang terlarang (KHP: 153). Kata mereka pula, berkencan (berjanji untuk bertemu) sudah tergolong “maksiat” (PDKI: 69).
Kita terimakah pandangan mereka itu? Tidak! Mengapa? Karena, sebagaimana dalam persoalan ikhtilat dan asmara pranikah, pemahaman mereka terhadap hadits-hadits itu belum memadai. Kali ini, mereka belum menghimpun semua hadits (shahih dan hasan) mengenai ‘berduaan’. Padahal, sebagaimana tersebut di bawah, ada hadits-hadits shahih lain yang menunjukkan, ada kalanya berduaan itu tidak tercela.
Dapatkah dua macam hadits yang kelihatannya bertentangan tersebut dijamak (dikompromikan)? Ya. Mengapa? Karena yang satu (yaitu yang menunjukkan larangan berduaan) bersifat ‘âm (umum), sedangkan yang lainnya (yaitu yang menunjukkan bolehnya berduaan) bersifat khâs (khusus). Menurut kaidah ushul fiqih, dalam penjamakan begitu, dalil yang khâs lebih diutamakan daripada yang ‘âm. (Lihat MTKDS: 134-146.) Hasilnya, dapat kita nyatakan bahwa kita boleh berduaan dalam keadaan tertentu.
Salah satu hadits shahih yang menunjukkan bolehnya kita berduaan adalah sebagai berikut: Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw, lalu beliau berduaan dengannya dan berkata: “Demi Allah! Sungguh kalian [orang-orang Anshar] adalah orang-orang yang paling aku cintai.” (HR Bukhari dan Muslim) Melihat hadits ini, Imam Bukhari menyatakan, kita boleh berkhalwat “di dekat orang banyak” (KW2: 124).
Maksudnya, menurut Hafizh Ibnu Hajar, Nabi saw. tidak berkhalwat dengan nonmuhrim, kecuali bila keadaan mereka berdua tidak tertutup dari pandangan mata orang lain dan suara mereka berdua dapat terdengar orang lain, walaupun orang lain itu tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka perbincangkan (FBSSB11: 246-247). Jadi, bukanlah tak berdasar jika kita nyatakan: Kita boleh berduaan bila terawasi, yaitu dalam keadaan yang bilamana terlihat tanda-tanda zina, yang ‘kecil’ sekalipun, “akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah perbuatan ini”. (MCMD: 130)
Hadits tersebut juga menunjukkan, dalam pemahaman Ibnu Hajar, bahwa ngobrol berdua dengan nonmuhrim secara rahasia (isinya tidak tertangkap orang lain) pada dasarnya tidak tercela. Sekalipun obrolan itu berisi “curhat masalah pribadi” (JNC: 43), itu pun masih tidak tercela. Apalagi, ada hadits shahih lain tentang curhat Ummu Darda kepada Salman, saudara-angkat Abu Darda (suami Ummu Darda): “Salman melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Ummu Darda menjawab: ‘Saudaramu, Abu Darda, tidak begitu peduli pada dunia.’ ….” (HR Bukhari) Tidak tercelanya curhat masalah pribadi dan khalwat yang terawasi itu tersirat pula dalam hadits shahih berikut ini.
Ada seorang wanita punya persoalan yang mengganjal pikirannya. Dia [menemui Nabi saw. lalu] berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ada perlu denganmu.” Nabi saw. menjawab, “Wahai Ummu Fulan! Pilihlah jalan mana yang kamu inginkan, sehingga aku bisa memenuhi keperluanmu!” Kemudian beliau pergi bersama perempuan itu melewati satu jalan sampai keperluannya selesai. (HR Muslim)
Di samping tentang curhat dan berduaan, hadits yang baru saja kita baca ini mengandung peristiwa kencan juga. Dengan demikian, kencan (saling bertemu di tempat yang disepakati) bukanlah khalwat yang terlarang. Bahkan, kendati pertemuan itu berlangsung antarlawan-jenis yang dilanda asmara, itu pun tidak tercela. (Lihat pula hadits yang disebut di Bab 2, yaitu yang mengisahkan percintaan seorang pemuda dengan seorang gadis Hubaisy.)
Namun, tentu saja, syarat ‘terawasi’ harus terpenuhi. Jika tidak, maka kita mesti memperhatikan nash-nash yang telah kita simak tadi, yaitu yang menunjukkan larangan khalwat. Kalau berduaan “tanpa sepengetahuan orang lain” (PIA: 37), maka khalwat itu menjadi terlarang.
Tidak Adakah Orang Yang Penyayang?
Kita telah menyimak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa mempunyai kekasih-tetap, berkencan, berduaan, atau pun saling berpegangan tangan tidak selalu diharamkan. Bagi sebagian penghujat ‘pacaran islami’, dalil-dalil itu mungkin terasa sangat mengejutkan. “Wong memandang saja disuruh nunduk, apalagi sentuh-sentuhan tangan.” (KHP: 202) Kalau toh “melihat wanita yang hendak dipinang”, itu mereka pandang sebagai “salah satu keterpaksaan untuk melancarkan perkawinan.” (PDKI: 72) Mereka pikir, “Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya.” (PDKI: 37)Mereka mengemukakan dalil: “Firman Allah Swt: ‘Dan janganlah kamu dekati zina (mendekati zina adalah segala tindakan yang menjurus kepada zina, seperti berpandangan, berduaan, bergandengan tangan, berpacaran, berciuman, dstnya), sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.’ (Qs. al-Isra’: 32)” (PDKI: 79)
Sebelum memeriksa isi dalil tersebut, saya hendak mengkritik cara penulisannya. Di situ, kalimat “mendekati zina adalah … dstnya”, walau diletakkan di antara tanda kurung, terlihat lebih menonjol daripada kalimat di luar kurung. (17 kata berbanding dengan 13 kata.) Cara penempatan begitu, di dalam penerjemahan Al-Qur’an, saya rasa sangat riskan. Terus terang, saya merasa sangat keberatan bahwa terjemahan firman Allah Yang Mahasuci disisipi begitu. Mengapa? Karena bisa menimbulkan kesan di mata pembaca bahwa kalimat tersebut bagian (tersirat) dari Al-Qur’an. Padahal, itu hanya merupakan tafsiran akal yang bahkan tidak didasarkan pada nash lain sama sekali. (Pada buku-buku terjemahan pada umumnya, yang diletakkan di dalam tanda kurung hanyalah ‘kata penjelas’. Adapun ‘kalimat atau ungkapan tafsiran’ biasanya diletakkan di bawahnya untuk menegaskan keterpisahannya.)
Bagaimana dengan isi dalil tersebut? Saya memandang, terjemahan ayat di situ tidak bermasalah. Namun, makna ‘mendekati zina’ atau ‘menjurus kepada zina’ yang mereka ajukan itu menurut saya perlu dikoreksi.
Mengenai ‘berciuman’, kita tidak membantah bahwa itu tergolong ‘mendekati zina’. Namun, benarkah “berduaan, bergandengan tangan, berpacaran” mendekati zina? Tidak selalu. Sebagaimana yang termaktub di atas, itu semua belum tentu mendekati zina.
Adapun digolongkannya ‘berpandangan’ dengan lawan-jenis sebagai ‘menjurus kepada zina’, tampaknya itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpandangan itu tidak selalu terlarang. Bahkan, ada kalanya justru merupakan kebaikan. Contohnya, “Salman melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ …” (HR Bukhari)
Bagaimana dengan perintah menundukkan pandangan? “Katakanlah kepada lelaki-lelaki beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; itulah yang lebih bersih untuk mereka. … Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; janganlah memamerkan kecantikan dan perhiasan mereka, kecuali [yang biasa] terlihat; ….” (an-Nuur [24]: 30-31.)
Dalam penafsiran Abu Syuqqah dan Yusuf Ali, maksudnya adalah larangan “menyebarkan pandangan ke sana kemari” dalam keadaan-keadaan yang “menyangkut aurat” dan “sopan-santun”. (KW2: 108 dan QTT2: 892). Dengan demikian, ketika tidak merangsang syahwat dan tidak berkesan kurang ajar, saling berpandangan dengan nonmuhrim bukanlah ‘zina mata’.
Tidakkah “pandangan mata terhadap lawan jenis secara psikologis dapat menimbulkan dorongan seksual” (PIA: 48), sehingga tergolong ‘mendekati zina’? Belum tentu. Dari kajian Abu Syuqqah terhadap semua hadits shahih yang relevan dengan persoalan ini, khususnya riwayat Bukhari dan Muslim, disimpulkan bahwa sesuatu yang dikhawatirkan “akan menimbulkan fitnah” (atau “dapat memancing syahwat”) belum bisa digolongkan sebagai ‘mendekati zina’. (KW3: 298-299)
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan ‘mendekati zina’? Ibnu Abbas mengatakan, “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mirip dosa kecil, kecuali apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Nabi saw., ‘Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat (sesuatu), zinanya lidah adalah mengucapkan (sesuatu), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (sesuatu), kemudian kemaluan yang membenarkan atau menolak itu semua.’” (HR Bukhari dan Muslim) Dengan memperhatikan penggunaan kata ‘kemaluan’ pada hadits ini dan pada Surat an-Nuur [24] ayat 30-31, kami memahami ‘zina kecil’ (atau ‘mendekati zina’) sebagai aktivitas selain alat-kelamin yang pada kenyataannya (bukan lagi ‘akan’ atau pun ‘dapat’) memancing syahwat (atau membangkitkan nafsu birahi) atau “yang dimaksudkan untuk menyalurkan hasrat birahi di luar hubungan suami-istri” (MCMD: 122). Dengan begitu, bisa kita katakan bahwa ‘pacaran islami’ tidak ‘mendekati zina’ (dan bukan ‘zina kecil’).
“Pacaran islami yang gimana, coba?” protes sebagian penghujat. “Yang kalau nulis surat romantis pakai kalimat thoyyibah? Yang mengganti dan mencari pembenaran ‘apel’ dengan ‘menjalin silaturahim’? Yang ngajakin yayangnya pengajian? Diboncengin, tapi nggak nyentuh? Gimana kalau ngerem mendadak? Yang ngaku ‘kakak’ atau ‘adek’? Weleh-weleh!” (KHP: 169) “Tidak bisa dikatakan pacaran Islami hanya karena saat berkunjung memakai baju koko, masuk rumah pacar mengucapkan salam, mau pegangan tangan baca bismilah, saat selesai ciuman mengucapkan alhamdulilah dan selesai zina cukup mengucapkan istighfar.” (PIA: 24)
Pertanyaan kita: Apa salahnya masuk rumah pacar mengucap salam, saat berkunjung memakai baju koko atau jilbab, berboncengan ke tempat pengajian dengan berusaha keras untuk tidak saling bersentuhan? Apa salahnya menyebut ‘kakak’ atau ‘adek’? Apa salahnya menulis surat cinta dengan kata-kata romantis seperti “Wahai dara Melayu! Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu! Sudilah dikau kutemui dan kutemani di suatu kafe mungil, atau di taman sempit antara dua gedung pencakar langit!”? Tidak adakah di antara kita orang yang penyayang?
Alasan Pacaran Islami Tidak Dicari-cari
“Bohoong! Bohong banget kalau orang yang pacaran itu makin mengenal satu sama lain. Kalaupun iya, paling juga kenal luarnya doang.” (KHP: 117) Mereka mendakwa, “pacaran adalah saat-saat paling munafik dalam kehidupan seseorang.” (PIA: 34) “Kita lihat kan, berapa banyak orang pacaran dengan dalih ‘mengenal’ sebelum menikah, toh saat menikah mereka juga malah pada berantem terus. Hihihi… abis gimana? … abis nikah kebuka semua sih, sifat aslinya.” (KHP: 117-118) Ya. Itu bisa saja terjadi. Namun, untuk adilnya, kita harus melihat juga, berapa banyak orang ‘pacaran islami’ dan kemudian setelah menikah menjadi sangat rukun (jarang berantem), karena sudah saling kenal sebelum menikah. Abis, pada waktu ‘pacaran islami’ itu, sudah kebuka semua sih, sifat aslinya yang mendasar (kendati sifat-sifat lain yang tidak fundamental belum terkuak).
“Standar mengenal juga nggak bisa dipastikan.” Maka, menurut sebagian penghujat, “yang menjadi masalah sebenarnya bukan seberapa lama mereka ‘mencoba mengenal’, namun seberapa siap seorang laki-laki dan perempuan untuk memahami dan bertanggung jawab dalam bingkai sebuah hubungan yang dihalalkan. Bukan begitu?” (KHP: 120-121) Bukan! Argumentasi tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘dilema yang keliru’. (Lihat JSP: 43.) Mengapa keliru, berikut ini penjelasan saya.
Bagi orang yang merasa belum siap nikah, pacaran itu bisa menciptakan rasa saling-kenal, sehingga ia menjadi merasa siap untuk meresmikan hubungan. Sementara itu, bila kita tanpa pacaran sudah bisa merasa siap untuk memikul tanggung jawab dalam pernikahan, itu antara lain karena ada rasa saling-kenal yang mendasarinya, meskipun sedikit. Rasa saling-kenal tambahan (yang tumbuh dari pacaran, misalnya) dapat membuat kita lebih merasa siap untuk menikah.
Rasa mengenal itu lebih kita butuhkan daripada pengetahuan tentang si dia. Jika kita tahu banyak, tetapi belum merasa cukup-mengenal, maka banyaknya pengetahuan itu kurang memberi kita dorongan. Tapi, jika kita merasa cukup-mengenal, maka itu sudah dapat mendorong kita untuk merasa siap untuk menikah, walau menurut ‘standar orang-orang’ pengetahuan kita tentang si dia tidak banyak. Karena itu, tidak jelasnya standar mengenal tidak menjadi masalah.
Bagaimana kalau dalam rangka mendorong pacar agar dia semakin merasa ‘siap’ kita gunakan rayuan? Kita pakai kata-kata manis seperti: ‘Bulan madu ke awan biru, akan kugendong rembulan, kukantongi bintang-bintang. Kalau tak percaya, belahlah dadaku.’?
“Gombal! Dibohongin luuu! … Bohoooong.” (KHP: 83; PIA: 34) Bohong? Belum tentu. Menurut Yusuf Qardhawi dan ar-Raghib al-Isfahani, berbagai macam majâz (kiasan) “yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual, … tidak boleh dianggap sebagai kebohongan.” (BMHN: 167-168) Rasulullah saw. pun dalam berbahasa sering memakai majâz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara-cara yang “sangat mengesankan”. (BMHN: 167)
Jika cara rayuan maut, pemberian dorongan kuat, dan perhatian besar demi kelanggengan hubungan sudah dijalankan, tetapi akhirnya tidak bersanding di pelaminan, bagaimana? “Jodoh di tangan Allah, bukan di tangan pacarmu. Maksudnya, biar sudah pacaran jungkir balik kalau Allah menentukan bukan jodoh, ya… nggak kesampaian.” (KHP: 172) Ya, ada benarnya. Biar sudah kerja banting tulang, kalau Allah menentukan bukan rezeki kita, ya… nggak kesampaian. Biar sudah jungkir balik menjaga kesehatan dan keselamatan, kalau Allah menentukan waktunya ajal, ya… kesampaian. Lantas, apakah kita tak perlu bekerja keras, tak perlu menjaga kesehatan dan keselamatan, tak perlu berikhtiar mengusahakan calon jodoh?
Tidakkah “suatu kesia-siaan saja jalan bersama seseorang yang belum tentu seratus persen menjadi pasangan hidup”? (KHP: 127) Tidak. Karena pacar Anda belum tentu seratus persen menjadi pasangan hidup Anda, ya jalan bersamanya tidak usah seratus persen. Tidurnya sendiri-sendiri, mandinya sendiri-sendiri. Jika, dalam perhitungan akal sehat Anda, peluang dia hanya limapuluh persen, ya jalan bersama dianya cukup limapuluh persen juga. Kuota limapuluh persen itu sudah cukup lumayan untuk menjadi ladang amal melalui pacaran islami. “Barangsiapa membawa kebaikan, balasannya akan lebih baik dari itu.” (al-Qashshash [28]: 84)
Amal itu tidak pernah sia-sia selama kita ikhlas melakukannya. Karena itu, ketika Anda berbuat baik kepada pacar Anda, janganlah Anda pikirkan apakah akhirnya dia akan ditaqdirkan Allah menjadi pasangan hidup ataukah tidak.
Memang, kita tak kuasa mengubah qadar. Namun, Tuhan berkuasa mengubahnya. “Dihapuskan-Nya apa yang Dia kehendaki, dan ditetapkan-Nya apa yang Dia kehendaki.’ (ar-Ra’du [13]: 39) Agar perubahan itu terjadi, ada syaratnya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya sendiri.” (ar-Ra’du [13]: 11) Karena itu, di samping berdoa, haruslah kita berikhtiar supaya keadaan buruk kita diubah oleh Tuhan, diubah-Nya menjadi baik menurut kehendak-Nya. (TM: 101) Walau jodoh di tangan Tuhan, “Allah telah mempersilakan kita untuk menjemputnya dengan ikhtiar kita.” (NAI 58-59; lihat MCMD: 176-180.) Caranya, antara lain, bercintaan dengan kekasih-tetap.
“Sssttt,” bisik sebagian penghujat, “orang-orang yang jatuh cinta itu —menurut penelitian [antropolog Helen Fischer]— ngeluarin hormon yang bikin bodho. … Otak kirinya nggak bekerja.” (KHP: 108) Tapi, riset tersebut bertentangan dengan penelitian ahli-ahli psikologi, khususnya yang mendalami bidang kecerdasan. Daripada Fischer, mereka lebih dapat dipercaya untuk dijadikan narasumber dalam masalah kecerdasan, bukan?
Menurut penelitian pakar-pakar kecerdasan itu, emosi (perasaan) memang dapat melumpuhkan otak kiri, tetapi itu hanya terjadi pada emosi negatif yang teramat kuat. (KE: 110) Emosi negatif itu berupa amarah, kecemasan, kesedihan, dsb. (KE: 77-108) Adapun rasa cinta itu sendiri bukanlah emosi yang negatif. (Lihat KE: 8 dan 15.) Jadi, rasa cinta tidak akan melumpuhkan otak kiri (tidak akan menyebabkan kebodohan).
Bagi sebagian orang yang lebih mengunggulkan otak kiri daripada yang kanan, bercintaan dengan kekasih-tetap mungkin dianggap ketinggalan zaman. “Kuno!” seru sebagian penghujat. Alasan mereka, “Zamannya apa-apa musti cepet, kok masih sempat-sempatnya bersayang-sayangan.” (KHP: 149) Tapi, ahli-ahli biologi evolusi dan psikologi kecerdasan berpandangan lain. Menurut penelitian para pakar itu, ciri aktivitas otak primitif adalah ‘cepat tapi ceroboh’, sedangkan yang modern adalah ‘teliti walau lambat’. (KE: 31) Dengan demikian, yang lebih modern bukanlah yang lebih cepat, buru-buru, dsb., melainkan yang lebih cermat, penuh perhatian, dsb.. Jadi, bila kita pacaran secara Islami agar lebih teliti lagi dalam ‘melihat calon’, bukan untuk menunda-nunda pernikahan, alasan ini memiliki dasar yang kuat, tidak dicari-cari.
Islamisasi Pacaran Dibenarkan Syari’at
“Nggak setiap perbuatan apabila diembel-embeli dengan kata ‘islami’ bisa langsung dikatakan halal untuk dilakukan. Nggak lho, kudu dilihat dulu aktivitasnya.” (JNC: 72) Benar! Halal-haramnya sesuatu tidak bergantung pada namanya, tapi pada aktivitasnya. Apa aktivitas dalam pacaran? Bercintaan dengan kekasih-tetap. Haramkah aktivitas ini? Tidak selalu.Namun, dalam pandangan sebagian penghujat, “yang namanya hubungan antara laki-laki dan perempuan selain nikah tuh, rawaaan banget.” (KHP: 115) Dengan kata lain, menurut mereka, “peluang nggak baiknya lebih banyak daripada manfaatnya.” (KHP: 114) Padahal, itu hanya terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’. Pada ‘pacaran islami’, hubungannya tidak rawan.
Sebagian penghujat menuntut, “jangan nyari alasan bahwa pacaran kalian nggak pakai aktivitas-aktivitas begituan. Jangan mencari alasan pembenar kalau kalian pacaran islami segala.” (KHP: 167, 169) Mereka menolak sebuah argumen dari sebagian orang di antara kita (yang berhati-hati dalam melakukan pacaran islami) bahwa aktivitas pacaran islami itu “no kiss, no touch. Kalau ketemu ya di masjid. [Padahal, di tempat lain pun tidak apa-apa.] Ngobrolnya jauhan. [Padahal, berdekatan pun boleh, selama tidak ‘mendekati zina’.] Nggak pernah pegangan tangan kalau jalan berdua. [Padahal, ada kalanya pegangan tangan dihalalkan.] Nggak ada jadwal khusus untuk wakuncar. Kapan-kapan aja kalau mau. [Padahal, terjadwal pun tak tercela.] Melepas rindu pun cukup bicara lewat telepon, atau mungkin kirim-kirim SMS dan e-mail saja. [Padahal, langsung tatap-muka pun tidak haram, selama tidak ‘mendekati zina’.] Pokoknya asli tanpa ciuman dan tanpa sentuhan. [Padahal, tidak semua sentuhan terlarang.] Aman dari segala macam ‘gerilya’ yang tak perlu.” (JNC: 71-72)
“Waduh, dari mana pula dapet ‘dalil’ begini rupa?” protes mereka. (JNC: 72) Dari mana? Ya dari argumentasi mereka sendiri! Mereka sendiri yang meminta, “kudu dilihat dulu aktivitasnya.” (JNC: 72) Mengapa saat kita kemukakan daftar aktivitas yang mereka minta untuk kita lihat itu, mereka sendiri tidak mau menggubris? Mengapa, sebelum daftar tersebut mereka periksa Islami-tidaknya, kita sudah dituduh “selalu mencari-cari alasan buat pacaran”? (KHP: 104)
Kita yakin, “Yang haram tetap haram dan tidak bisa berubah hukum sekalipun dikaitkan dengan simbol-simbol Islam.” (PIA: 22) “Mana mungkin yang haram bisa berubah jadi halal jika diganduli kata ‘islami’.” (JNC: 72-73.) Memang tidak mungkin. Tapi, apakah “yang namanya pacaran itu, bagaimanapun alasannya kagak pernah ada dalam aturan Islam”? (KHP: 174) Aktivitas haram manakah yang berubah jadi halal dalam pacaran islami? Apakah aktivitas-aktivitas di dalam daftar tadi, yang “aman dari segala macam ‘gerilya’ yang tak perlu”, itu haram? Apakah ketemu di masjid, ngobrol jauhan, bicara lewat telepon, atau kirim-kirim SMS dan e-mail itu haram?
Kita tidak membantah, praktek pacaran pada umumnya bolehjadi melanggar syari’at. “Pacaran yang katanya ajang bagi sepasang kekasih untuk saling mengenal pun, tak sekadar itu. Bahkan lebih,” (KHP: 137) yaitu “pengumbaran nafsu syahwat.”(PDKI: 35) Yang parah, “‘Making Love’ (seks) bagi sebagian orang memang menjadi bumbu penyedap dalam pacaran.” (JNC: 78)
Kepada penulis dan penerbit KHP, PIA, JNC, dan PDKI, kita berterima kasih atas peringatan akan penyimpangan-penyimpangan itu. Mudah-mudahan, dengan begitu, kita menjadi lebih berhati-hati dalam berpacaran. Selain itu, semoga pemberitahuan semacam itu tidak membuat pasangan yang selama ini lurus malah menjadi terdorong untuk menyimpang, seperti cium-ciuman, peluk-pelukan, raba-rabaan, dsb., dengan dalih: “Ini kan sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang pacaran!” Bagaimanapun, kebenaran dan kebaikan bukan terletak pada apa yang biasanya terjadi.
Lantas, bagaimana sebaiknya sikap kita menghadapi begitu banyaknya penyimpangan di dunia pacaran? Kita dapat belajar dari sebuah hadits shahih bahwa “Ilmu [agama] ini diemban dalam setiap generasi belakangan oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat bathil, dan pentakwilan orang-orang bodoh.” (HR al-Baihaqi)
Dalam belajar ini, kita dapat mencontoh sebuah model solusi yang telah dijalankan oleh Hamka. Melihat banyaknya penyimpangan yang serius di dunia ‘tasauf’ yang menjurus syirik, yang dosanya mungkin jauh lebih besar daripada dosa zina yang terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’, ulama kita ini tidak serta-merta mengharamkan segala bentuk ‘tasauf’. Dengan mengetengahkan konsep ‘Tasauf Modern’, Hamka bertekad, “Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasauf.” (TM: 17)
Oleh sebab-sebab itu, strategi yang kita pilih adalah islamisasi, meluruskan aneka penyimpangan, mengambil yang haq dan menyingkirkan yang bathil (tidak mencampur-adukkan antara keduanya), merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Langkah islamisasi seperti ini dapat dibenarkan oleh syari’at. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua pegangan, sehingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah [Al-Qur’an] dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik dan Hakim)
Jangan Berlebihan dalam Mencegah Zina!
Sebagian orang berkata, pacaran itu “aktivitas yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (JNC: 75) Hah?! Diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya? “Celakalah orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri kemudian mereka katakan bahwa buatan tangan mereka sendiri itu dari Allah.” (al-Baqarah [2]: 79) Rasul-Nya bersabda: “Barangsiapa sengaja berbohong tentang diriku [tentang sesuatu yang dilakukan atau diucapkan oleh beliau] maka hendaknya ia bersiap-siap memasuki tempatnya di neraka.” (BMHN: 69)Wahai pengharam ‘pacaran islami’! Terangkanlah kepada kami tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kita, lalu kamu jadikan sebagiannya haram! Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu untuk menetapkan haramnya rezeki-Nya itu? Ataukah kamu mengada-ada saja? (Lihat Surat Yunus [10] ayat 59.)
Sebagian penghujat menetapkan, “Mustahil ada pacaran dalam Islam atau mustahil ada pacaran yang islami. Seperti halnya mustahil ada judi yang islami, … dll.” (PIA: 22) “Gimana bisa disebut islami,” alasan mereka, “wong judi itu sendiri adalah aktivitas haram.” (JNC: 72) Namun, alasan tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘analogi yang pincang’. (Lihat JSP: 22.)
Memang, judi jelas-jelas dinyatakan sebagai “perbuatan keji buatan syetan” (al-Maa’idah [5]: 90). Akan tetapi, manakah ayat Qur’an atau pun hadits yang menyebutkan haramnya ‘bercintaan dengan kekasih-tetap’? Kalau tidak ada bukti haramnya, bukankah tidak mustahil ada pacaran yang islami? (Lihat Bab 2.)
Mereka mengakui, “Memang nggak pernah ada istilah La tapaccaru (jangan pacaran). Tapi,” saran mereka, “mbok ya cerdas dikit dooong, kalau aktivitas ini jadi pintu masuk zina.” (KHP: 167) Padahal, pacaran Islami kan nggak sampai mendekati pintu masuk zina! [Lihat Bab 3.]
“Benar, tapi bukankah perzinaan juga dimulai dari hal yang kecil?” debat mereka. (JNC: 59) Iya, memang begitu. “Setiap orang memiliki nafsu birahi. Nafsu ini sengaja ditunggangi oleh syetan agar manusia dapat melampiaskannya di luar jalur Islam. Di antara cara syetan menunggangi nafsu birahi ini adalah dengan pacaran.” (PIA: 26) “Memang, nggak semua cowok dan cewek berengsek, tapi masalahnya, setan ada di mana-mana.” (KHP: 137)
Lantas, apakah karenanya “Pacaran itu jalan syetan yang lurus (menuju neraka)”? (PIA: 26) Mari kita bandingkan dengan jalan syetan lainnya. Selain melalui kecintaan terhadap lawan-jenis, syetan dapat menyimpangkan kita keluar dari jalur Islam melalui kecintaan terhadap harta dan anak-anak. (Lihat Ali ‘Imran [3]: 14 dan KW3: 279-287.) Lalu, apakah karenanya berharta atau pun beranak itu jalan syetan yang lurus menuju neraka? Belum tentu. Nah! Begitu pula pada kejadian bercintaan dengan kekasih-tetap.
“Kalau kamu sering bertemu dengan lawan jenis,” debat mereka lagi, “nggak ada jaminan kan kalau kamu bisa tahan godaan.” (JNC: 59) Ada! Bahkan, jaminannya sudah mereka katakan sendiri: “Cinta sejati … akan senantiasa lulus dari berbagai ujian.” (JNC: 35) “Mencintai seseorang berarti menjaganya…. Tidak mungkin, seseorang yang mencintai orang lain dengan sebenar-benar cinta akan ‘merusak’ sesuatu yang dicintainya, meskipun dia memiliki ‘kesempatan’ untuk itu.” (KHP: 258) [Selain itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah cukup sempurna sebagai pedoman untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya zina.]
Ataukah mereka kira, yang dapat menjalani cinta ‘sejati’ [berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah] itu hanya mereka? Orang Islam lainnya takkan bisa tahan godaan? Percaya tak percaya, syari’at Islam mengakui kesucian fitrah dan ketulusan orang Islam. Kita pun diperintahkan untuk “mempercayai masyarakat muslim dan berprasangka baik terhadap mereka.” (KW3: 224-225; lihat an-Nuur [24]: 12.)
Kita bukan hanya dilarang berlebihan dalam mencegah kemunkaran yang mungkin akan terjadi pada orang lain. Dalam mencegah diri sendiri berzina pun kita dilarang berlebihan.
Pernah, “datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan berkata: ‘Ya Rasulullah, apabila aku makan daging walau sedikit, niscaya nafsuku terhadap wanita akan bergejolak. Oleh karena itu, aku haramkan daging bagi diriku.’ Maka turunlah ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang oleh Allah dihalalkan bagimu.’ (Ibnu Katsir memberitakan peristiwa itu di dalam kitab tafsirnya.)” (IEAP: 21) “Dan janganlah kamu berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (al-Maa’idah [5]: 87)
Namun, debat mereka: “Setiap orang yang berfikiran sehat pasti menyadari, alasan seperti di atas akan memberi peluang bagi tumbuh suburnya pergaulan bebas yang dapat mengakibatkan kebejatan akhlak.” (PDKI: 73-74) Pemberian izin ‘pacaran islami’ bisa disalahgunakan. Bahkan, ada yang berpandangan, ‘pacaran islami’ yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. mustahil (atau hampir mustahil) bisa diterapkan di masyarakat kita. (Lihat JCPI.)
Barangkali alasan mereka, “Masyarakat yang hidup pada zaman Rasulullah saw. adalah masyarakat saleh yang terhindar dari fitnah, sedangkan masyarakat kita sekarang banyak mengalami kemerosotan moral.” Namun, Abu Syuqqah mengabarkan: “anggota masyarakat yang hidup di Madinah pada zaman Rasulullah tidak semuanya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, atau seperti ‘Aisyah, Asma, dan Ummu Sulaim. Bahkan masyarakat Madinah saat itu terdiri atas berbagai golongan; ada orang-orang munafik, orang Yahudi…. Walaupun demikian, Allah tetap … membolehkan apa yang boleh.” (KW3: 255)
Memang, kita pun sedikit-banyak khawatir kalau-kalau pemberian izin ‘pacaran islami’ disalahgunakan. Sungguhpun begitu, dalam bersikap demikian kita jangan mengharamkan sesuatu yang tidak terlarang. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Abdullah bin Umar, seorang shahabat yang dikenal “sangat berhati-hati” dan “banyak mengikuti jejak-jejak Rasulullah” (TTTI: 302).
Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi shalat ke masjid ketika mereka meminta izin kepada kalian.’ Bilal bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, aku akan melarang mereka karena izin itu akan mereka salah gunakan.’ Lalu Abdullah menemuinya dan memakinya dengan makian yang tidak pernah didengar sebelumnya seraya berkata, ‘Saya beritahu kamu tentang hadits Rasulullah saw. tapi kamu justru mengatakan, ‘Aku akan melarang mereka.’” (HR Muslim)
Dengan Pacaran Islami, Muliakanlah Islam!
Dalam hukum Islam, kaidah taisir (pemberian kemudahan) diakui di samping kaidah saddudz-dzari’ah (pencegahan). (KW3: 172) Keduanya saling melengkapi dan saling menyeimbangkan. Bolehkah kita menerapkan satu kaidah saja dan tidak menerima kaidah lainnya? Jangan! Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya!” (al-Baqarah [2]: 208)Seruan itu tidak hanya kami tujukan kepada pihak penghujat, tetapi juga kepada aktivis dan simpatisan ‘pacaran islami’. Di samping tidak berlebihan, kita pun jangan sampai berkurangan dalam mencegah zina!
Walau pada asalnya tidak tergolong ‘zina hati’, asmara pranikah bisa saja menjadi kurang berharga dan tidak dirahmati Allah. Yaitu ketika tercemari oleh nafsu syahwat yang tidak terkendali (‘zina hati’) atau nafsu kotor lainnya. Meski sudah terawasi oleh orang lain ketika kita berduaan, kita sendirilah yang tahu apakah kita terangsang oleh nafsu birahi ataukah tidak. Karena itu, kita harus peka dan mengenali gejolak syahwat kita, untuk kemudian mendengarkan suara hati nurani, seperti yang telah diteladankan oleh Yusuf a.s..
Nabi Yusuf a.s. berkata: “Wahai Tuhanku! Penjara lebih kusukai daripada memenuhi ajakan mereka [untuk berzina]. Kalau tidak Engkau hindarkan tipu muslihat mereka dariku, aku akan cenderung kepada mereka, dan aku akan tergolong ke dalam orang-orang yang bodoh.” (Yusuf [12]: 33) Tuhan berfirman: “Katakanlah: ‘Jika … pasangan-pasangan kalian … lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya!’ Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.” (at-Taubah [9]: 24)
Memang, kalau sekadar berjabatan tangan di saat pemberian ucapan selamat atau perjumpaan setelah lama berpisah, sedangkan Anda bergandengan tangan hanya bilamana perlu, dan ketika berboncengan pun berusaha keras untuk tidak saling bersentuhan, maka saya tidak berani berprasangka yang bukan-bukan. Namun, bila Anda sering bergandengan tangan dengan sang pacar, dengan niat agar romantis atau untuk bermesraan, maka saya sangat meragukan keislamian aktivitas Anda ini. (Untuk romantis dalam pranikah secara Islami, lihat NAI: 87-100 dan 135-144.)
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya. … Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, maka ia akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya, atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya [terhenti] pada apa yang ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Bolehjadi, niat yang mulialah yang melandasi dakwaan sebagian penghujat bahwa “Melegalisasi pacaran dengan dihiasi simbol-simbol Islam merupakan perilaku biadab, sama dengan mengotori Islam secara terang-terangan dan pelecehan [terhadap Islam] yang nyata. Akibatnya muncul image yang tidak baik terhadap Islam.” (PIA: 25) Namun, kami yakin bahwa islamisasi pacaran, sebagaimana islamisasi tasauf, bisa menjadi langkah yang beradab. Langkah ini dapat turut memperbaiki citra Islam, yang saat ini sering dihubungkan dengan terorisme dan kekerasan.
Sayangnya, sebagian penghujat bersikap benci dan antipati terhadap ‘pacaran islami’. Dengan keras mereka nyatakan bahwa pemahaman dan “istilah pacaran islami tuh … berbahaya.” (JNC: 76) Bahkan, mereka memandang para pendukung ‘pacaran islami’ sebagai “musuh dalam selimut” yang “lebih berbahaya daripada musuh yang jelas di depan mata.” Alasan mereka, semua aktivitas ‘pacaran islami’ merupakan “upaya pembusukan Islam dari dalam.” (PIA: 23) Namun, kami menyayangkan sikap kebencian dan posisi permusuhan mereka itu. Mengapa? Karena kami yakin bahwa para penyokong islamisasi pacaran, yang suka membersihkan diri, tidak mustahil dicintai Allah dan menjadi kekasih-Nya. (Lihat al-Baqarah [2}: 222 dan at-Taubah [9]: 108.) Sedangkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: “Barangsiapa memusuhi kekasih-Ku, maka sungguh Aku menyatakan perang kepadanya.” (HR Bukhari) Padahal, para pembenci ‘pacaran islami’ itu tidak ingin diperangi Allah, bukan?
Wahai pembenci ‘pacaran Islami’! “Bolehjadi kamu membenci sesuatu, padahal amat baik bagimu, dan bolehjadi [pula] kamu menyukai sesuatu, padahal amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 216) “Dan janganlah kamu ikuti apa yang kamu tidak tahu tentangnya!” (al-Israa’ [17]: 36)
Sebagian penghujat barangkali kurang memahami sabda Rasulullah saw., “Halal itu jelas dan haram itu juga jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat (tidak jelas apakah halal ataukah haram) yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Barangsiapa yang menghindari hal-hal yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat PIA: 15-16 dan KHP: 169.) Bagi mereka yang tidak memahami hadits tersebut dengan baik, mereka mencukupkan diri dengan mengharamkan segala sesuatu yang sepengetahuan mereka belum jelas kehalalannya. Mereka sangka, begitulah kealiman yang terpuji. Padahal, orang alim ialah orang yang seraya menghindari yang syubhat, ia terus-menerus mencari tahu kejelasan, sehingga yang tampak jelas (halal atau haram) semakin banyak dan yang syubhat semakin sedikit. (KW3: 229)
Mungkin lantaran kebelumtahuan tentang ‘pacaran islami’, penghujat-penghujat itu mengatakan, “kagak ada maklum-makluman deh, sama … ‘pacaran islami’.” (KHP: 151) Mereka bersikukuh pada pendapat mereka sendiri. “Apa pun modus operandinya,” mereka memvonis, “yang namanya pacaran tetep haram, titik.” (KHP: 153)
Sikap ‘titik tebal’ itu tampak berbeda jauh dari sikap imam-imam mujtahid yang terbuka terhadap kemungkinan kelirunya fatwa mereka. Imam Abu Hanifah berwasiat, “Apabila perkataanku menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul saw., maka tinggalkanlah perkataanku.” Imam Malik berpesan, “Ketahuilah! Sebenarnya aku ini hanyalah seorang manusia, mungkin salah dan mungkin benar. Maka selidikilah segala pendapatku. Tiap-tiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah dia; dan yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah dia.” (PHI1: 166)
Pacaran Islami TIDAK Mengakali Hukum Islam
“Kalian selalu mencari-cari alasan buat pacaran, ya?” Demikian
dakwaan dari sebagian penghujat pacaran islami. “Tak sedikit,” tuduh
mereka, “santri-santri yang sudah berani berpacaran dengan
mengatasnamakan pacaran Islami. Mereka mencampurkan yang haq dengan
[yang] bathil.” Lalu, saran mereka, “Jangan sampai kamu ‘ngakalin’ hukum
gitu lho.” Benarkah dakwaan mereka itu? Mengakali Hukumkah Pacaran
Islami?
Ustadz Muhammad Shodiq (pengasuh Pesantren Cinta) menjawab:
1. Alasan Pacaran Islami Tidak Dicari-cari
2. Islamisasi Pacaran Dibenarkan Syari’at
3. Jangan Berlebihan dalam Mencegah Zina!
4. Dengan Pacaran Islami, Muliakanlah Islam!
Ustadz Muhammad Shodiq (pengasuh Pesantren Cinta) menjawab:
1. Alasan Pacaran Islami Tidak Dicari-cari
2. Islamisasi Pacaran Dibenarkan Syari’at
3. Jangan Berlebihan dalam Mencegah Zina!
4. Dengan Pacaran Islami, Muliakanlah Islam!
Cara “melupakan” si dia
Untuk bisa 100% ikhlas itu, dibutuhkan waktu. Semakin dalam perasaan
kita, maka semakin banyak waktu yang kita butuhkan untuk bisa ikhlas
sepenuhnya. Jadi, kamu gak perlu terlalu menyalahkan diri apakah sudah
ikhlas atau belum. Yang paling penting, kamu terus berusaha meningkatkan
keikhlasan.
Untuk “bisa lupa dia” dan “tidak terlalu memikirkannya”, saya sarankan agar kamu menjalankan lima macam langkah berikut:
Untuk “bisa lupa dia” dan “tidak terlalu memikirkannya”, saya sarankan agar kamu menjalankan lima macam langkah berikut:
- Akuilah terlukanya perasaan kehilangan
Sebaiknya kita mengakui dan menerima kenyataan bahwa dia telah tiada. Sebagai manusia biasa harus kita akui bahwa kita bisa terluka oleh rasa kehilangan, termasuk kehilangan si dia. Di samping mengaku langsung kepada Tuhan, kita bisa mengakui terlukanya perasaan kita kepada diri sendiri dan terutama kepada orang yang kita percaya. Curhat atau konsultasi yang telah kau lakukan ini merupakan langkah awal yang tepat untuk mengobati rasa sakitnya kehilangan dia. Tinggal melakukan langkah-langkah berikutnya. - Lepaskanlah emosi negatif secara positif.
Secara positif itu maksudnya: yang membuat diri tenang, nyaman, sehat, dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Misalnya: [a] menangislah secukupnya untuk redakan perasaan yang sedang berkecamuk di hatimu, [b] bersalatlah atau berdo’alah kepada Allah, [c] di buku harian (diary) tulislah “Dear diary, sejak 2 minggu yang lalu dari kepergiannya, aku merasakan betapa sakitnya hatiku, betapa sedihnya diriku. Aku merasa tak ingin ia pergi jauh dariku. Andainya saja aku bisa memilih, aku ingin ia tak pergi dari hari-hariku.” - Tenangkanlah gejolak jiwa secara sehat
Melepaskan emosi negatif, secara positif sekalipun, terkadang belum memadai untuk melepaskan jiwa dari belenggu luka hati karena kehilangan dirinya. Sebab itu, kita butuh langkah lain, untuk menenangkan gejolak jiwa ini. Cara yang paling efektif adalah disesuaikan dengan kepribadian masing-masing. Bagi yang religius, berserah diri kepada Allah swt. Bagi yang menginginkan sehat, berolahraga bisa tenangkan gejolak jiwa. - Gairahkanlah diri dengan keceriaan
Perasaan sedih kala kehilangan dirinya, itu suatu kewajaran. Namun bila kita terus berlarut-larut dalam kesedihan, tentu hal ini tak kan bisa menghapus kesedihan kita. Maka cobalah untuk bersikap ceria. Tersenyumlah untuk menampakkan wajah keceriaan hingga membuatmu merasa benar-benar bisa untuk ceria kembali. - Terimalah kegagalan sebagai peluang belajar
Terimalah dan akuilah kegagalanmu dalam memiliki dirinya untuk jadi pasanganmu.
You know, orang yang mengakui kegagalannya dalam bercinta lebih mudah bangkit menuju terjalinnya hubungan cinta lain yang lebih baik. Oleh sebab itu, daripada mengucap kata-kata penyangkal kegagalan, lebih elok kita kemukakan ungkapan-ungkapan yang bernada menerima kegagalan. Umpamanya: “kegagalan adalah pelajaran menuju kesuksesan…” Kita menganggap perginya seorang yang kita cintai di masa lalu sebagai tahapan menuju terjalinnya hubungan cinta lain yang lebih indah.
Langganan:
Postingan (Atom)