Ternyata Cinta Tidak Mustahil Abadi
Salah satu alasan utama penghujat ‘pacaran islami’ adalah seruan: “Oiii … Ternyata Cinta tuh, Nggak Abadi!” (KHP: 130). Benarkah seruan ini? Mari kita periksa.KHP mendasarkan seruannya itu pada pernyataan antropolog Helen Fischer bahwa “kasus-kasus perceraian muncul ketika telah mencapai empat tahun masa perkawinan” dan “kalaupun bertahan, pasti karena faktor-faktor lain” di luar cinta (KHP: 132). Mengapa hanya empat tahun masa perkawinan? Menurut teori Fischer (Four Years Itch), itu karena bekerjanya sejumlah hormon yang diproduksi di otak selama orang jatuh cinta hanya empat tahun (KHP: 132).
Layakkah teori itu untuk dijadikan sandaran? Dalam pengamatan saya, penyandaran tersebut sesat-pikir lantaran ‘bersandar pada otoritas’ yang tidak tepat. (Lihat JSP: 12-13.) Lain halnya bila yang dirujuk ialah pakarnya: psikolog atau dokter yang berkecimpung di bidang hormon. Sekalipun begitu, mungkin masih ada manfaatnya bila kita periksa teorinya. Sebab itu, marilah kita asumsikan bahwa Helen Fischer memang ahli di bidang hormon.
Menurut teori Four Years Itch itu, hormon pemicu gelora cinta cuma bertahan sekitar empat tahun, setelah itu tak berbekas lagi. Karenanya, KHP menyimpulkan dengan memakai hitung-hitungan, “misalnya, orang yang pacarannya sudah tiga tahun, berarti kan [gelora cintanya] cuma bisa bertahan setahun setelah menikah, hehehe…” (KHP: 132)
Akan tetapi, kita bisa bertanya-tanya: Benarkah teori tersebut? Kalau iya, mengapa daya tahan hormon penggelora itu empat tahun saja? Apakah sudah merupakan ‘kodrat biologis’ yang berlaku universal sepanjang masa? Mungkinkah karena itu pria yang berpoligami cenderung lebih mencintai istri-baru daripada istri-lama? Dan yang bermonogami tergoda untuk berselingkuh? Ataukah karena penghayatan interaksi dengan lawan-jenis secara ‘modern’ lah penyebab sang hormon berumur pendek? Bukankah angka empat tahun itu hanya data statistik dari penelitian terhadap sekian orang di zaman modern ini?
Pertanyaan utama kita: Apakah teori four years itch itu berlaku pula pada gelora cinta Muhammad Rasulullah saw. kepada istri-istri beliau? Mari kita periksa melalui hadits-hadits.
Aisyah r.a. berkata: “Tidak ada rasa cemburuku terhadap salah seorang dari istri-istri Nabi saw. yang melebihi rasa cemburuku terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, [rasa cemburuku itu timbul] karena Nabi saw. sering menyebut-nyebut dia. …” (HR Bukhari dan Muslim) Dari Aisyah r.a., dia berkata: “… aku berkata [kepada Rasulullah saw.]: ‘Apa yang membuatmu selalu teringat kepada salah seorang nenek dari nenek-nenek kabilah Quraisy itu? Dia sudah tua renta dan telah habis ditelan masa [karena telah lama meninggal dunia]. Bukankah Allah sudah memberimu pengganti yang lebih baik daripada dia?’” (HR Bukhari dan Muslim. Dan dalam satu hadits riwayat Ahmad disebutkan, Rasulullah saw. menjawab: “Allah tidak memberiku pengganti yang lebih baik daripada dia.” [FBSSB8: 141])
Hadits-hadits itu mengisyaratkan, rasa cinta Rasulullah saw. kepada istri pertama, yaitu Khadijah r.a., tetap bergelora walau sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan kendati dia sudah wafat dan Nabi saw. telah menikah lagi. Gelora tersebut tampaknya begitu besar, sampai-sampai istri lain yang masih hidup sangat cemburu.
Apakah abadinya cinta beliau itu khusus bagi Khadijah r.a.? Mari kita tengok dua hadits shahih lainnya:
Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw., ketika sakit yang membawa beliau ajal, bertanya: “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Yang beliau maksud adalah hari giliran Aisyah. Lalu istri-istri beliau memberi izin kepada beliau untuk tinggal di mana saja yang beliau inginkan. Ternyata beliau memilih rumah Aisyah sampai beliau meninggal. (HR Bukhari dan Muslim) Sebelum itu, Aisyah r.a. pernah berkata: “Kaum muslimin pada saat ini sudah mengetahui betapa cintanya Rasulullah saw. kepada Aisyah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sewaktu menghadapi sakaratul-maut itu, sudah berapa lama Rasulullah saw. menikah dengan Aisyah r.a.? Dalam kitab Fathul Bari, jilid 8, disebutkan bahwa Nabi saw. wafat ketika Aisyah berusia delapanbelas tahun (KW1: 187). Adapun Aisyah r.a. berkata: “Nabi saw. menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. … [walau] ibuku menyerahkan aku kepada beliau ketika aku baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari dan Muslim) Jadi, ketika itu Aisyah r.a. telah menikah dengan beliau selama duabelas tahun.
Jika teori Four Years Itch berlaku pada diri beliau, dan dengan asumsi bahwa rasa cinta beliau dimulai pada saat nikah, maka tentunya yang paling dicintai beliau pada akhir hayat itu adalah istri terbaru yang belum sampai empat tahun beliau nikahi. Namun, hadits-hadits tersebut mengisyaratkan, yang paling beliau cintai (nomor dua sesudah Khadijah r.a.) justru istri ‘terlama’ (di antara yang masih hidup) yang telah beliau nikahi selama duabelas tahun!
Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa Rasulullah saw. telah membuktikan, gelora asmara itu bisa abadi, sekurang-kurangnya sampai akhir hayat, bukan hanya empat tahun. Selain itu, tampaknya istri yang lebih dia cintai adalah yang lebih lama dan lebih akrab dalam berinteraksi dengan beliau. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya kita bersikap?
Jika Anda dan calon pasangan hidup Anda berkepribadian seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan merasa mustahil meniru pola cinta Rasulullah saw. (terutama terhadap Khadijah r.a. dan Aisyah r.a.), maka mungkin tidak ada salahnya kalian pilih strategi “tidak ada cinta sebelum nikah”. Dengan memulai asmara hanya pada saat ijab-qabul, kalian bisa mengharap gelora cinta yang maksimal selama empat tahun pertama pernikahan.
Akan tetapi, kalau kepribadian Anda dan calon pasangan hidup Anda tidak seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan kalian yakin bahwa pola cinta Rasulullah saw. terhadap lawan-jenis di zaman ‘kuno’ itu bisa diterapkan di era ‘modern’ ini, maka bisa dimengerti bila kalian optimis mampu memperpanjang ‘usia harapan hidup’ si hormon penggelora asmara di tubuh kalian selama mungkin! Meskipun kalian pacaran selama empat tahun sebelum nikah, misalnya, insya’ Allah gelora cinta kalian tidak akan padam pada saat ijab-qabul dan bahkan masa-masa sesudahnya, hingga akhir hayat kalian berdua!
Aisha Chuang menegaskan, asmara islami tak pernah merupakan akhir. Selalu ada kelanjutannya atau harapan bagi yang menjalaninya. Dengan kata lain, cinta sejati merupakan proses yang idealnya berlangsung abadi. (NAI: 50)
Definisi ‘Pacaran’ Sangat Jelas
Di samping “tidak abadinya cinta”, alasan ‘kuat’ lain yang dijadikan andalan untuk mengklaim bahwa mustahil ada pacaran yang islami adalah “ketidakjelasan definisi pacaran”. Benarkah alasan ini kuat? Mari kita kritisi.Sebagian penghujat ‘pacaran islami’ mendefinisikan, “Pacaran adalah aktivitas menumpahkan rasa suka dan sayang kepada lawan jenis.” (JNC: 58) Dalam pandangan saya, definisi tersebut sesat-pikir lantaran ‘terlalu sempit’ dan ‘membingungkan’. (Lihat JSP: 33-34.) Kata ‘menumpahkan’ di situ membingungkan karena bersifat sangat konotatif. Selain itu, di situ hanya diungkap hubungan searah, padahal pacaran adalah aktivitas timbal-balik dua pihak. Jadi, jika definisi tersebut yang dipakai, tentu saja definisi ‘pacaran’ menjadi tidak jelas.
Sementara itu, walau mereka berargumen dengan ‘tidak jelasnya definisi pacaran’, ada kalanya mereka malah berusaha menjelaskan definisi ‘pacaran’. Alasan mereka, “Supaya simpel dan kita nggak terjebak pada definisi yang mengaburkan.” (KHP: 114) Mereka menerangkan: “Pacaran yang nggak jelas definisinya itu, sebenarnya cuma ekspresi … perasaan ‘suka’ pada lawan jenis, terus ditindaklanjuti dengan perilaku-perilaku yang dianggap romantis dan kemudian publik memberikan pengakuan si A pacaran dengan si B, si A pacarnya si B.” (KHP: 113) “Pokoknya yang namanya pacaran tuh, hubungan laki-laki perempuan yang bukan muhrim dalam sebuah komitmen selain Nikah! Titik.” (KHP: 114)
Begitulah mereka berusaha menunjukkan definisi-definisi ‘pacaran’ yang ‘simpel dan tidak mengaburkan’. Padahal, mereka juga menyatakan bahwa definisi ‘pacaran’ tidak jelas. Dengan begitu, saya pandang argumentasi tersebut sesat-pikir lantaran kontradiktif. Mengapa sampai kontradiktif dan bagaimana mengatasinya? Mereka belum menjelaskannya di buku mereka itu. Titik?
“Sudahlah,” seru mereka. “Mendingan kita nggak usah cari-cari kesempatan untuk ikut bagian orang-orang yang menyuburkan aktivitas baku syahwat ini. Abis, nggak jelas, gitu!” (KHP: 114) Tampaknya, pada ‘pokoknya’, mereka mendefinisikan, “pacaran adalah aktivitas baku syahwat yang dilarang oleh Islam (haram).” (JNC: 71)
Namun, dalam pengamatan saya, definisi yang ‘pokok’ tersebut sesat-pikir lantaran ‘menetapkan aksiden’. (Aksiden merupakan sifat yang “dapat ada dan dapat tidak ada”) (JSP: 16). Memang, aktivitas baku-syahwat di luar nikah dilarang oleh Islam. Tapi, apakah pacaran merupakan ‘aktivitas baku-syahwat’? Belum tentu. Dalam pacaran, bisa ada aktivitas baku-syahwat, bisa pula tidak ada aktivitas baku-syahwat!
Mungkin mereka bingung: “Kalau mau didefinisikan bahwa pacaran adalah proses awal untuk saling mengenal sebelum menuju pernikahan, juga nggak sepenuhnya benar. … Nggak semua orang, pacaran diniatin menikah, kan?” (KHP: 113) “Ketidakjelasan definisi pacaran juga terlihat pada ketidakjelasan batasannya. Apakah dua orang yang saling suka dan mengungkapkannya sudah bisa disebut pacaran, atau bahkan yang lebih dari itu masih juga disebut pacaran?” (KHP: 114)
Untuk menjawabnya, mari kita merujuk ke definisi yang dibakukan di buku KBBI, kamus resmi bahasa kita. Buku PIA mengungkap: “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002: 807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” (PIA: 19) “Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut (lihat halaman 542) adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” (PIA: 20)
Jika definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca dengan sangat jelas sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.
Dengan demikian, pacaran yang aktivitasnya “lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas baku-syahwat, itu pun masih dapat disebut ‘pacaran’ (tetapi bukan ‘pacaran islami’)! Sedangkan, pada dua orang yang baru saling mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi belum ada hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran.
Hubungan yang ‘tetap’ itu dapat tercipta dengan ikatan janji atau komitmen untuk menjalin kebersamaan berdasarkan cinta-kasih. Kebersamaan yang disepakati itu bisa berujud apa saja. Dengan demikian, yang tidak diniatkan untuk nikah masih bisa dinyatakan pacaran. Bahkan, ‘hidup bersama tanpa nikah’ pun bisa disebut ‘pacaran’ (tetapi bukan ‘pacaran islami’)!
Ikatan Pacaran Cukup Jelas
Dengan menganggap bahwa “cinta tidak abadi” dan “definisinya tidak jelas”, penghujat-penghujat itu pun berpikiran, “ikatan dalam pacaran tidak jelas.” Mereka mendakwa: “Pacaran hanyalah sebuah ekspresi sesaat bagi orang-orang yang mengaku saling jatuh cinta.” (KHP: 146) “Kata pacar sendiri,” kata mereka, “berasal dari nama sejenis tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali. Tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murahan) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai. Jika suatu waktu [tidak] puas dengan pacarnya, maka dia akan mudah beralih kepada pacarnya yang baru.” (PIA: 19) Mereka menambahkan: “Analogi pacar air menunjukkan —pacar air yang jadi pemerah kuku— apabila telah usang dan pudar warnanya, maka akan diganti dengan pacar yang baru. … Kalau masih merah dan menyenangkan, dipakai. Kalau sudah pudar dan menyebalkan atau bahkan mengotori, diganti.” (KHP: 143)Akan tetapi, analogi mereka tersebut saya pandang sesat-pikir lantaran ‘tidak relevan’. Seharusnya, fakta yang menjadi dasar analogi itu memiliki persamaan yang asasi dengan kenyataan yang dianalogikan. Jika tidak, analogi itu akan “menghasilkan kesimpulan yang salah.” (JSP: 21) Pada analogi ‘pacar air’ tadi, mungkin mereka belum memperhatikan bahwa salah satu sifat asasi pacaran ialah adanya hubungan yang tetap.
Bolehjadi, tidak sedikit orang yang katanya pacaran tapi sering putus-sambung karena “ngerasa bahwa ikatan itu belum paten.” (JNC: 170) Lantas penghujat-penghujat mendakwa, “Ikatan yang nggak jelas itulah yang akhirnya menimbulkan keengganan bertanggung jawab. Betul, nggak?” (KHP: 117) Nggak. “Bayangin,” sindir mereka, “kalau kita cuma jadi pacar. Kita dijadikan pacar oleh orang lain, terus abis gitu —karena [hanya] pacaran, kan sah-sah saja kalau putus-sambung tho?” (KHP: 147) “Bukankah pacaran akhirnya … menjadikan seseorang seperti piala bergilir. Iya, kan?” (KHP: 148) Tidak.
Kita tidak boleh memperlakukan teman-teman lain-jenis sebagai ‘piala bergilir’. Orang yang pacaran dengan maksud “putus-sambung”, maka pacarannya ‘tidak sah’. Sebab, sekali lagi kami ingatkan, pada pacaran harus ada kekasih yang tetap.
Terus, “kalau seseorang yang semula ‘berniat’ cuma pacaran, kemudian ternyata … si cewek pregnant by accident [hamil lantaran ‘kecelakaan’], gimana? Apa bisa disalahkan si cowoknya? Kan, niatnya pacaran? Bisa saja kan, si cowok merasa nggak masalah karena sampai seperti itu masih mereka anggap ‘pacaran’?” (KHP: 116) Tidak bisa!
Si cowok harus bertanggung jawab atas ‘kecelakaan’ itu. Jika Anda kira si cowok tidak dapat disalahkan “karena sampai seperti itu masih mereka anggap ‘pacaran’,” maka Anda sesat-pikir lantaran ‘lempar batu sembunyi tangan’ dengan ‘berlindung pada prinsip umum’. (Lihat JSP: 3-4.)
Menurut prinsip umum, seperti yang disebut di pasal “Definisi” di atas, mereka yang memakai ‘bumbu’ berupa zina itu masih dapat disebut ‘pacaran’. Namun, walau pacaran in itself tidak salah, zina itu perbuatan yang salah! Kita dapat membandingkannya dengan aktivitas perdagangan, misalnya. Walau dilakukan dengan curang, kegiatan itu masih bisa disebut dagang. Tetapi, meski perdagangan itu sendiri pada dasarnya tidak zalim, curang itu perbuatan yang zalim! Jadi, jika Anda kira si pedagang yang curang tidak bersalah karena kendati curang ia masih tergolong berdagang, maka Anda sesat-pikir.
Mungkin mereka pikir, “Pacaran hanyalah aktivitas penuh apologi (alasan) dan ikatan tanpa konsekuensi yang jelas.” (KHP: 128) “Ikatan pacaran tuh,” kata mereka, “sama sekali nggak jelas, baik dari sisi syar’i maupun ikatan sosial dan hukum.” (KHP: 115) Benarkah?
Dipandang dari sisi hukum, komitmen pranikah itu saya lihat ikatannya cukup jelas. Ada undang-undang tertulis yang menetapkan konsekuensi bagi orang yang melanggar janji, menipu, dll. Melanggar janji kesetiaan atau pun menipu pacar tidaklah bebas dari tuntutan hukum. Pihak yang merasa dirugikan berhak memperkarakan.
Dari sisi sosial, saya lihat ikatan pranikah itu cukup jelas juga, meski tidak sejelas pernikahan. Ada norma sosial tak tertulis yang mengatur ‘hak dan kewajiban untuk setia’ bagi orang yang pacaran. Yang tetap setia kepada pacar memperoleh penghargaan sosial, sedangkan yang mengkhianati komitmen ini mendapat sanksi sosial.
Bagaimana dari sisi syar’i? Ada yang mengatakan, “ikatan yang legal dalam pandangan Islam itu hanya ada dua, yakni khitbah (pinangan) dan nikah.” (JNC: 150) Namun, dalam pengamatan saya, setiap perjanjian mengandung ikatan yang sah dan jelas. “Sungguh, setiap janji itu akan diminta pertanggungjawaban.” (al-Israa’ [17]: 34) (Lihat QTT1: 238 dan 704.) Ada ancaman berat, “Barangsiapa melanggar janjinya, maka akibat pelanggarannya akan menimpa dirinya sendiri,” sedangkan kepada orang yang menepati janji, Allah memberi “pahala yang besar” (al-Fath [48]: 10).
Mungkin, jelasnya ikatan pacaran itu dipandang belum memadai. Ada yang mendakwa: “Komitmen untuk ‘tetap setia’ dijamin nggak berlaku bagi orang yang pacaran.” (KHP: 117) “Bagaimana mungkin bisa yakin bahwa seseorang yang selama ini jalan bareng memiliki komitmen untuk tetap setia, lha wong yang terjadi dari waktu ke waktu hanya sebatas saling curhat dan saling take and give yang nggak jelas juntrungnya?” (KHP: 127-128) Bukan begitu!
Komitmen kesetiaan pacar kita itu bisa kita pegang. Mengapa? Karena kita bisa yakin dia beriman kepada Al-Qur’an, menghargai norma sosial, taat hukum, dan berwatak dapat-dipercaya. Lagipula, pacaran kita jelas juntrungnya, tidak hanya sebatas saling curhat. (Untuk contoh pacaran yang jelas juntrungnya, lihat NAI dan BPI.)
Lantas, kalau pun ikatannya jelas, untuk apa pacaran? Bukankah itu “cuma bikin kita terbelenggu pada sebuah ikatan-ikatan semu yang membuat kita tidak merdeka”? (KHP: 117) Bukan begitu.
Di dalam ‘ikatan’ dengan lawan-jenis, menurut Deborah Tannen, terkandung ‘kompensasi’ yang berharga berupa ‘keakraban’ yang ujung-ujungnya berimbas pada ‘rasa aman’ pula. (Lihat RPWP: 25-55.) Jadi, jika Anda lebih membutuhkan kebebasan daripada keakraban, boleh-boleh saja Anda tidak pacaran. Tapi, orang yang pacaran karena lebih memerlukan keakraban daripada kebebasan janganlah Anda cela!
Pacaran Itu Sunnah yang Direstui Nabi
Bolehjadi, di antara sekian banyak argumen, yang paling diandalkan untuk menghujat ‘pacaran islami’ adalah sebagai berikut: “Islam sama sekali tidak mengenal pacaran.” (PIA: 41) “Pacaran bukan dari Islam, melainkan budaya jahiliyah yang harus ditinggalkan oleh segenap remaja muda Islam.” (PIA: 22) “Mestinya kita juga nggak meniru orang-orang jahiliyah dan budaya jahiliyah modern.” (KHP: 171)Benarkah pacaran adalah budaya jahiliyah modern (dari Barat)? Mari kita periksa.
Di Bab 1, kita telah menyimak sindiran Rasulullah saw.: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR ath-Thabrani) Mungkin Anda masih bertanya-tanya: Tidakkah yang dimarahi beliau dengan sindiran tajam itu hanya tindakan ‘menghukum mati tawanan’, bukan perilaku ‘melecehkan aktivitas pacaran’? Untuk memastikannya, mari kita perhatikan asbabul wurud-nya, yaitu latar belakang atau penyebab diucapkannya sabda Rasul tersebut. Kebetulan, hadits selengkapnya telah mencantumkannya.
Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Nabi saw. mengirim satu pasukan [shahabat], lalu mereka memperoleh rampasan perang yang di antaranya terdapat seorang tawanan laki-laki. [Sewaktu interogasi], ia berkata, “Aku bukanlah bagian dari golongan mereka [yang memusuhi Nabi]. Aku hanya jatuh cinta kepada seorang perempuan, lalu aku mengikutinya. Maka biarlah aku memandang dia [dan bertemu dengannya], kemudian lakukanlah kepadaku apa yang kalian inginkan.” Lalu ia dipertemukan dengan seorang wanita [Hubaisy] yang tinggi berkulit coklat, lantas ia bersyair kepadanya, “Wahai dara Hubaisy! Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu! Sudilah dikau kuikuti dan kutemui di suatu rumah mungil atau di lembah sempit antara dua gunung! Tidak benarkah orang yang dilanda asmara berjalan-jalan di kala senja, malam buta, dan siang bolong?” Perempuan itu menjawab, “Baiklah, kutebus dirimu.” Namun, mereka [para shahabat itu] membawa pria itu dan menebas lehernya. Lalu datanglah wanita itu, lantas ia jatuh di atasnya, dan menarik nafas sekali atau dua kali, kemudian meninggal dunia. Setelah mereka bertemu Rasulullah saw., mereka informasikan hal itu [dengan antusias] kepada beliau, tetapi Rasulullah saw. berkata [dengan sindiran tajam]: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR ath-Thabrani dalam Majma’ az-Zawâid 6: 209)
Kita perhatikan, tema utama informasi yang disampaikan oleh para shahabat kepada Rasulullah sehingga beliau bersabda begitu adalah kisah hubungan asmara di luar nikah. Saat itu barangkali mereka kira, perilaku pacaran itu kemunkaran besar yang harus dicegah dengan ‘tangan’ (kekuatan) bila mampu, sedangkan kemampuan ini ada pada mereka selaku pemenang pertempuran. Mereka menghukum mati si lelaki, dan mungkin menyangkanya sebagai perbuatan baik demi mencegah kemunkaran besar. Namun, Rasulullah justru marah.
Sebaliknya, kata Abu Syuqqah, “beliau menampakkan belas kasihnya kepada kedua orang yang sedang dilanda cinta itu” dan menyalahkan perbuatan shahabat. (KW5: 75) Ini menyiratkan, seharusnya si tawanan dibebaskan walau akibatnya kemudian ia melakukan pacaran dengan si dia. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa pacaran (bercintaan dengan kekasih-tetap) merupakan sunnah taqriri, kebiasaan yang direstui Nabi saw..
Sampai di sini mungkin Anda masih penasaran: Manakah istilah ‘pacaran’ dalam hadits tersebut? Jawaban kita: Penyebutannya tidak langsung tersurat, tetapi tersirat.
Untuk sampai ke pengertian itu, kita mengacu pada unsur-unsur ‘pacaran’ yang baku: bercintaan dengan kekasih-tetap. Adakah aktivitas bercintaan di dalamnya? Ada. Ini ditunjukkan oleh ungkapan “Wahai dara Hubaisy, terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu!” dan “Baiklah…” Tampaknya, rasa cinta antara keduanya itu begitu mendalam. Sampai-sampai, si pria mempertaruhkan nyawa untuk dapat bertemu dengan kekasihnya, sedangkan si wanita sampai jatuh dan meninggal dunia di atas jasad kekasihnya. Ini menunjukkan, aktivitas bercintaan itu terjadi antara sepasang kekasih yang tetap, bukan sekadar teman sesaat. Dengan demikian, unsur-unsur ‘pacaran’ yang baku sudah terkandung di dalam hadits tersebut. Jadi, tidaklah mustahil ada ‘pacaran’ (bercintaan dengan kekasih-tetap) yang islami!
Bagaimana dengan ‘kencan’? Aktivitas yang tidak harus ada (walau sering terdapat dalam pacaran) ini tampaknya terkandung pula di dalam hadits ath-Thabrani tadi. Kita melihat, ada janji untuk “saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama”. Jadi, hadits tersebut juga mengisyaratkan bahwa ‘kencan’ (saling bertemu di tempat dan waktu yang disepakati) antar lawan-jenis di luar nikah merupakan sunnah taqriri, kebiasaan yang direstui Nabi saw..
Bagaimana bila sesudah kita kemukakan hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah menghalalkan ‘pacaran’ (bercintaan dengan kekasih-tetap), penghujat-penghujat ‘pacaran islami’ masih berpegang pada fatwa bahwa “pacaran selalu haram” dan “tidak ada pacaran dalam Islam”? Padahal mereka tidak mengemukakan nash yang mengharamkannya? Dalam keadaan begitu, mungkin sebaiknya kita sampaikan ayat: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak [pula] bagi perempuan yang beriman, bila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan [hukum], akan ada bagi mereka pilihan [hukum lain] tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh ia sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzaab [33]: 36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar