Mereka kemukakan argumentasi: “Sangat sulit menghindari kontak fisik jika bergerombol bercampur-baur dengan lawan jenis. Padahal Rasulullah saw. mengharamkan bersentuhan kulit antarlawan jenis. Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya.’ (HR. Tabrani) ‘Tangan Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at; bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.’ (HR. Bukhari) Dengan demikian bisa dimengerti mengapa Rasulullah saw. melarang ikhtilat atau campur-baur antarlawan jenis.” (PIA: 42) Tidak kelirukah argumentasi mereka ini?
Sudahkah mereka menghimpun semua hadis shahih dan hasan mengenai ikhtilat? (Lihat BMHN: 106.) Kalau sudah menghimpun, sudahkah mereka berusaha menjamak (mengkompromikan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan? Kalau menjamak itu mustahil, sudahkah mereka mentarjih (mengutamakan dalil yang lebih kuat)? (Lihat MTKDS: 9-73 dan BMHN 118-120.) Tampaknya itu semua belum dilakukan.
Yang terlihat sudah melakukannya dengan cukup lengkap, antara lain, ialah Abdul Halim Abu Syuqqah. Dari pengkajiannya dilaporkan, wajibnya pemakaian tabir pemisah itu khusus bagi istri Nabi. (KW3: 83-167) Tercatat, ada lebih dari 300 hadits shahih Bukhari dan Muslim yang menunjukkan terjadinya ikhtilat pada diri Rasulullah saw. dan para shahabat “dalam berbagai bidang kehidupan”. (KW1: 15) Hampir tidak ada satu pun lapangan kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat perbauran antarlawan-jenis. Abu Syuqqah belum mendapati satu nash pun yang mengisyaratkan, meski sekadar isyarat, untuk menjauhi ikhtilat. Apakah yang terlibat dalam ikhtilat itu hanya dari kalangan tua-jompo atau dalam kondisi darurat saja? Tidak. Sebagian besar nash tersebut bercerita tentang orang dewasa, sebagiannya remaja, dan terjadi berdasarkan kemauan masing-masing. (KW2: 206-207) Jadi, menurut kajian tersebut, perbauran antarlawan-jenis itu kebiasaan yang dijalankan oleh Nabi saw. dan para shahabat.
Lantas, terlarangkah kontak fisik (bersentuhan kulit) di dalam ikhtilat? Apakah “zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim”? (PDKI: 38) Benarkah “sentuhan tangan haram hukumnya” dan “Islam tidak membenarkan laki-laki dan perempuan bersentuhan kulit”? (PIA: 50) Mari kita periksa.
Pertama, kutipan ‘Hadits Tabrani’ tadi perlu dikoreksi dulu. Di kitab Majma’ az-Zawâid (4: 326) dan kitab Shahih al-Jami’ ash-Shaghir (hadits no. 4921), kata yang digunakan adalah “yang tidak halal baginya”, bukan “yang bukan muhrim”. Mengapa perlu dikoreksi? Karena “orang yang tidak halal baginya” tidak selalu dapat ditakwilkan sebagai “orang yang bukan muhrim”. Setelah koreksi ini, kita bisa memeriksanya dengan lebih teliti.
Ternyata, kami dapati, hadits tersebut bersifat zhanni (meragukan), baik dari segi tsubut (sumber) maupun dilalah (petunjuk). Hadits yang bersanad hasan tersebut zhanni-tsubut karena “tidak terlalu dikenal pada masa para Sahabat dan murid-murid mereka” (BMHN: 178). Selain itu, yang lebih ‘meragukan’, hadits itu pun zhanni-dilalah karena mencantumkan dua ungkapan yang bermakna ganda, yaitu ‘menyentuh’ dan ‘yang tidak halal baginya’.
Ungkapan ‘orang yang tidak halal baginya’ di sini bisa mengacu pada ‘setiap orang yang bukan muhrim’, tetapi bisa pula berarti ‘sebagian nonmuhrim yang dalam keadaan tertentu tidak halal bersentuhan kulit dengannya’. Sedangkan kata ‘menyentuh’, dalam banyak nash, merupakan majâz (kiasan). Contohnya, menurut kesepakatan para mufassir dan ahli fiqih, kata ‘menyentuh’ pada Surat al-Ahzaab [33] ayat 49 dan pada Surat Ali ‘Imran [3] ayat 47 berarti “melakukan hubungan seksual”. (BMHN: 178-179)
Untuk mengetahui maksud hadits yang ‘meragukan’ tersebut, kita harus merujuk ke hadits-hadits lain yang qath’i (meyakinkan) mengenai kontak fisik dalam ikhtilat. Adakah? Ya!
Di antaranya, dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Seorang perempuan sahaya [nonmuhrim] dari sahaya-sahaya warga Madinah menggandeng tangan Rasulullah saw. dan pergi bersama beliau ke tempat mana saja yang ia [perempuan itu] kehendaki.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah) Hadits shahih ini menggunakan kata-kata yang lugas, bermakna tunggal, sehingga bersifat qath’i. Meyakinkannya hadits ini dari segi dilalah menjadi tampak lebih jelas dengan adanya tambahan keterangan di dalam versi Ahmad dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw. tidak berusaha melepaskan tangan perempuan tersebut. (FBSSB13: 420, BMHN: 178-180) Contoh kontak fisik lainnya, menurut hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim, rambut kepala Nabi saw. dan shahabat pernah disisir oleh lawan-jenis nonmuhrim. (Lihat KW2: 113-120 dan MCMD: 12-14.) Ini semua menunjukkan, kontak-kontak fisik tersebut tidak diharamkan!
Kemudian, lantaran antara hadits ‘meragukan’ yang mereka jadikan hujjah dan hadits-hadits ‘meyakinkan’ yang baru saja kita kemukakan tampaknya (sepintas lalu) berbeda, kita perlu menggabungkannya secara proporsional, sehingga semuanya “dapat diamalkan” dan “saling menyempurnakan” (BMHN: 118). Hasilnya, kita bisa menerima dua kemungkinan maksud dari hadits Tabrani di atas. Pertama, kita diharamkan bersenggama dengan setiap orang yang bukan suami/istri kita. Kedua, kita dilarang bersentuhan-kulit dengan sebagian lawan-jenis nonmuhrim dalam keadaan tertentu.
Salah satu contoh ‘keadaan tertentu’ itu terdapat dalam hadits shahih riwayat Bukhari (dan Muslim serta Malik, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad), yang telah dinukil si pendakwa tadi. Ternyata, tangan Nabi saw. tidak pernah bersentuhan dengan tangan nonmuhrim dalam bai’at walau beliau mengalaminya dalam kesempatan lain. Abu Syuqqah menerangkan, Rasulullah saw. tidak menyentuh tangan lawan-jenis di dalam bai’at itu lantaran “tidak merasa aman dari fitnah”. Sedangkan dalam keadaan lain, seperti sewaktu rambut kepala beliau disisir nonmuhrim, beliau “merasa aman dari fitnah”. (KW2: 120-121)
Jadi, kalau Anda tidak merasa aman dari fitnah bila bersentuhan kulit dengan lawan-jenis, silakanlah Anda berusaha menghindarinya. Namun, janganlah Anda vonis haram berjabat-tangannya atau pun bergandeng-tangannya pasangan-pasangan yang merasa aman dari fitnah! Sekalipun begitu, kita sendiri jangan asal-asalan melakukan kontak fisik dengan dalih ‘merasa aman dari fitnah’. Sungguh, perasaan kita “akan diminta pertanggungjawaban” (al-Israa’ [17]: 36).
Punya Kekasih-Tetap Tidak Mendekati Zina
Seorang gadis yang merasa tak aman dari dosa ‘zina hati’ menyampaikan curhat sebagai berikut: “Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan SMS begini [I love you because Allah], bahkan tengah malam dan dari seorang ikhwan yang semestinya paham bahwa SMS-SMS begini bikin salah tafsir. Bukannya saya GR. Saya takut zina [hati]… Saya mending dirajam di dunia deh, daripada saya terus-terusan nyerempet-nyerempet zina begini.” (KHP: 225)Salah satu dalil yang diajukan oleh mereka yang sepaham dengan si gadis itu adalah ayat: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, Ia menciptakan pasangan-pasangan bagimu dari jenis kamu sendiri, supaya kamu hidup tenteram dengan mereka, dan Ia menanamkan rasa cinta dan kasih di antara kalian.” (ar-Ruum [30]: 21.)
Lantas, dengan adanya ayat ini, sebagian pendakwa menyimpulkan, “jelaslah Islam tidak mengenal cinta sebelum perkawinan.” (PDKI: 34) Jelas? Tidak! Mengapa kita katakan ‘tidak jelas’? Sekurang-kurangnya ada dua alasan. Pertama, kata ‘azwâjâ’ pada ayat ini bersifat zhanni karena bermakna ganda. Walau banyak mufassir menerjemahkannya sebagai ‘istri-istri’, sebagian lainnya menerjemahkannya dengan makna yang lebih luas sebagai ‘pasangan-pasangan’, baik di dalam pernikahan maupun di luarnya. (Lihat QTT2: 1032.) Kedua, meskipun terjemahan ‘istri-istri’ lah yang kita pakai, penyimpulan tadi tetap belum dapat kita terima karena terlihat mengandung sesat-pikir lantaran ‘term pada kesimpulan tidak konsisten dengan term premisnya’. (Lihat JSP: 38.)
Memang, dengan asumsi tersebut, ‘cinta di dalam perkawinan’ (adalah) ‘diakui oleh Islam’. Jelas, ‘cinta sebelum perkawinan’ bukanlah ‘cinta di dalam perkawinan’. Lantas, apakah ‘cinta sebelum perkawinan’ tidak ‘diakui oleh Islam’? Belum tentu. Term pada kesimpulan yang negatif itu tidak konsisten dengan term premisnya yang positif. Jadi, ‘cinta sebelum perkawinan’ belum tentu tidak ‘diakui oleh Islam’.
Sulit menangkap kesesat-pikiran penyimpulan mereka tersebut? Contoh lain yang sederhana berikut ini mungkin dapat mempermudah pemahaman Anda: “Hamka (adalah) manusia. Kita bukanlah Hamka. Jadi, kita bukan manusia?”
Di samping penyimpulan yang keliru itu, berdasarkan Surat ar-Ruum ayat 21 pula mereka lakukan penyimpulan lain yang tampaknya juga sesat-pikir. Argumentasi mereka, dengan adanya ‘virus merah-jambu’ pada seseorang yang pacaran, “dia nggak jadi tambah tenteram, e… malah tambah kacau. Padahal kan, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya merasa tenteram satu sama lain.” (KHP: 171) Lalu mereka simpulkan, “Pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia.” (KHP: 171)
Dalam pengamatan kami, argumentasi mereka tersebut sesat-pikir lantaran ‘kesimpulan tidak partikular’. Kelirunya kesimpulan yang tidak partikular, kata Mundiri, sering terjadi ketika ada “kecenderungan untuk melebih-lebihkan masalah” (JSP: 35). Seharusnya, kesimpulannya: Sebagian pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. (Sebagian perkawinan pun merupakan pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa perceraian dihalalkan dan hukum pernikahan bisa makruh atau bahkan haram dalam keadaan tertentu, walau sunnah atau pun wajib dalam keadaan lain.)
Selain berdasarkan ayat dari Surat an-Nuur tadi, mereka pun berlandaskan sebuah hadits shahih tentang berpahalanya penempatan sperma di tempat yang halal. Lalu mereka simpulkan, “Islam hanya melegalisir percintaan sesudah perkawinan karena dari percintaan di dalam perkawinan inilah terdapat [penyaluran] nafsu syahwat yang dirahmati Allah.” (PDKI: 109) Namun, penyimpulan tersebut kami pandang sesat-pikir juga, kali ini lantaran ‘kekeliruan dalam arus hubungan’. (Lihat JSP: 41-42.)
Memang, hanya di dalam perkawinan kita sajalah terdapat penyaluran nafsu syahwat kita yang dirahmati Allah. Jelas, penyaluran nafsu syahwat yang dirahmati Allah itu percintaan yang Islami. Lantas, apakah percintaan yang Islami hanyalah yang di dalam perkawinan? Belum tentu. Mengapa? Karena pada pacaran atau percintaan di luar perkawinan belum tentu ada penyaluran nafsu syahwat.
Mungkin, mereka berargumen, “Semua aktivitas pacaran selalu menjurus pada seks.” (KHP: 165-166) “Bagaimana tidak? Dalam aktivitas ini, semua hal mubah (boleh) hukumnya; berboncengan, menyentuh, bahkan berciuman pun, saat ini sudah lumrah bahkan lebih dari itu.” (KHP: 139) Benarkah argumen begitu? Tidak.
Mengapa argumen mereka tersebut kami pandang tidak benar? Karena aktivitas pada pacaran menurut definisi baku bukanlah yang disebutkan itu, melainkan “bercintaan”, sedangkan “bercintaan” tidaklah identik dengan aktivitas seksual. Walau ada orang yang menyamakan “bercinta” atau “making love” dengan bersenggama, kita tidak bependapat begitu. Kendati menurut Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis abad-20, “cinta merupakan keinginan seksual yang tertunda,” (PDKI: 58) kita berpandangan lain.
Mereka sendiri mengatakan, “Cinta adalah kebijaksanaan. Penghormatan dan penghargaan terhadap martabat orang lain.” (KHP: 258) Bahkan, mereka yakin, “seks tidak sama dengan cinta. … Cinta adalah perwujudan dari kasih sayang, sementara ngeseks adalah aktivitas biologis.” (JNC: 77) Contohnya pun telah mereka kemukakan: Seorang pemuda berusia 19 tahun “melakukan senggama dua kali sebulan. Partnernya adalah teman-teman sendiri, janda-janda yang kesepian atau tante. [Tetapi] ia tidak pernah … bersenggama dengan pacarnya sendiri.” (PDKI: 54-55) Jadi, pacaran tidak “selalu menjurus pada seks” dan karenanya tidak harus mendekati zina.
Bolehjadi, dalil-dalil aqli tersebut beserta dalil-dalil lain yang kami ungkap sejauh ini belum cukup meyakinkan Anda untuk menyatakan bahwa pacaran pada hakikatnya tidak mendekati zina dan bahwa punya kekasih-tetap bukanlah ‘zina hati’. Mungkin Anda kira, “zinanya hati adalah membayangkan dan mengkhayalkan … yang bukan muhrim” (PDKI: 37-38).
Kalau begitu, sebaiknyalah Anda lebih mencermati pesan Allah bahwa “Tiada dosa bagimu jika … kamu pelihara [sesuatu] itu di dalam kalbu. Allah mengetahui bahwa kamu teringat-ingat kepada mereka.” (al-Baqarah [2]: 235) Dari ayat ini kita pahami, ‘mengingat-ingat’ (merindukan, membayangkan, mengkhayalkan, dsb) kepada nonmuhrim bukanlah ‘zina hati’ dan bukan pula dosa.
Lantas, apa yang dimaksud dengan kata “sesuatu” yang bila kita pelihara di dalam hati bukan tergolong dosa dan bukan ‘zina hati’? Sebagian ulama menafsirkannya sebagai ‘keinginan untuk meminang’, sedangkan sebagian lainnya, termasuk Yusuf Ali dan Abu Syuqqah, menafsirkannya dengan lebih luas sehingga mencakup ‘asmara pranikah’. (Lihat QTT1: 94 dan KW5: 76-77.)
Yang menarik perhatian kita, dua macam penafsiran tersebut sama-sama tidak menolak pemahaman bahwa punya ‘kekasih-tetap’ (sekurang-kurangnya dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dirindukan secara tetap’) bukanlah dosa dan bukan ‘mendekati zina’ pula, walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Pengertian itu diperkuat oleh hadits di bawah ini.
Ibnu Abbas mengabarkan, seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. lalu berkata, “Kami memelihara seorang gadis yatim. Ia dilamar oleh seorang lelaki miskin dan seorang lelaki kaya. Gadis itu lebih condong pada lelaki miskin, sementara kami condong pada lelaki kaya.” Kemudian Nabi Saw. bersabda, “Tiada [sesuatu] yang dapat dinilai [lebih berharga] bagi dua orang yang saling mencintai kecuali perkawinan.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim) Di hadits ini tersirat, Rasulullah saw menghargai orang yang punya ‘kekasih-tetap’ (dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dicintai secara tetap’) walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Nilai asmara pranikah itu bahkan dipandang melebihi harta dan segala kesenangan duniawi lainnya. (Asmara pranikah hanya kalah dari yang di dalam nikah.)
Boleh Berduaan Bila Terawasi
Sebagian penghujat mendakwa, “Seringkali, banyak pasangan yang terjebak pacaran dengan sampul ta’aruf. … Ya, apa bedanya dengan pacaran bila ada rutinitas kunjungan, intensitas interaksi, dan komunikasi yang melegitimasi silaturahmi dengan embel-embel ‘ingin lebih mengenal’?” (KHP: 156-157)Untuk apa kita persoalkan apa bedanya?! Bukankah yang jauh lebih penting adalah memeriksa Islami-tidaknya aktivitas-aktivitas yang sama antara keduanya itu?
Tidak Islamikah aktivitas kunjungan yang berulang-ulang itu? Ternyata, ada hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menunjukkan, Rasulullah saw. berkunjung ke rumah Ummu Sulaim (atas dasar rasa ‘kasihan’ kepadanya) secara “terus-menerus” (KW1: 244). Tidak Islamikah aktivitas interaksi yang intensif? Ternyata, intensitas interaksi mereka berdua diceritakan dalam banyak hadits. (Lihat KW1: 243-251.) Salah satunya, kata Anas r.a., “Adalah Nabi saw. setiap kali lewat di dekat Ummu Sulaim, beliau singgah menemuinya.” (HR Bukhari) Jadi, walau ‘tidak ada’ bedanya dengan pacaran, ‘ta’aruf’ yang diisi dengan kunjungan yang berulang-ulang ke rumah nonmuhrim tertentu dan interaksi yang intensif dengan nonmuhrim tertentu itu merupakan sunnah Nabi saw..
Apakah Ummu Sulaim itu seorang nenek tua-renta yang sudah tidak memiliki daya-tarik seksual bagi kaum laki-laki? Tidak. Ia adalah seorang wanita muda yang tergolong sangat menarik, sehingga dipinang dan kemudian dijadikan istri oleh Abu Thalhah, sedangkan Abu Thalhah adalah orang terkaya di Madinah. Ada yang mengira, Ummu Sulaim itu muhrim beliau lantaran persusuan. Namun, ad-Dimyati memastikan, Ummu Sulaim bukanlah muhrim Rasulullah saw.. Ada yang menyangka, keintiman mereka hanya terjadi sebelum turunnya ayat hijab (al-Ahzaab [33]: 53). Padahal, sesudah ayat hijab diturunkan pun, beliau pernah tidur siang di rumahnya dan tidak mengurangi frekuensi kunjungannya. Apakah aktivitas-aktivitas beliau yang ‘tidak ada bedanya dengan pacaran’ itu khusus bagi Rasul? Tidak. Shahabat-shahabat pun berakrab-akrab dengan lawan-jenis nonmuhrim. Contohnya, dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dikabarkan, rambut kepala Abu Musa disisir dan dibersihkan oleh seorang nonmuhrim. (Lihat KW3: 31-32; KW1: 240-251; dan MCMD: 12-14.)
Akan tetapi, sekalipun saling kunjung itu merupakan sunnah Rasul, beliau meminta kita untuk waspada. Sabda beliau: “‘Awaslah kalian masuk ke tempat wanita.’ Seorang pria Anshar bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan ipar [dan semisalnya dari kalangan kerabat suami, seperti anak paman dan lainnya]?’ Beliau menjawab, ‘Ipar itu maut.’” (HR Bukhari dan Muslim) “Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari) “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir janganlah ia berduaan dengan lawan-jenis yang tidak didampingi muhrimnya. Sebab, bila demikian, syetanlah pihak ketiganya.” (HR Ahmad)
Mungkin atas dasar sabda-sabda itu, sebagian orang mengharamkan segala macam aktivitas berduaan pria-wanita yang tidak ditemani muhrim. Ada yang berpandangan, ngobrol berdua dan jalan-jalan berdua merupakan “perbuatan dosa” (JNC: 173). Pergi berdua ke tempat pengajian pun, menurut mereka, tergolong “berkhalwat” yang terlarang (KHP: 153). Kata mereka pula, berkencan (berjanji untuk bertemu) sudah tergolong “maksiat” (PDKI: 69).
Kita terimakah pandangan mereka itu? Tidak! Mengapa? Karena, sebagaimana dalam persoalan ikhtilat dan asmara pranikah, pemahaman mereka terhadap hadits-hadits itu belum memadai. Kali ini, mereka belum menghimpun semua hadits (shahih dan hasan) mengenai ‘berduaan’. Padahal, sebagaimana tersebut di bawah, ada hadits-hadits shahih lain yang menunjukkan, ada kalanya berduaan itu tidak tercela.
Dapatkah dua macam hadits yang kelihatannya bertentangan tersebut dijamak (dikompromikan)? Ya. Mengapa? Karena yang satu (yaitu yang menunjukkan larangan berduaan) bersifat ‘âm (umum), sedangkan yang lainnya (yaitu yang menunjukkan bolehnya berduaan) bersifat khâs (khusus). Menurut kaidah ushul fiqih, dalam penjamakan begitu, dalil yang khâs lebih diutamakan daripada yang ‘âm. (Lihat MTKDS: 134-146.) Hasilnya, dapat kita nyatakan bahwa kita boleh berduaan dalam keadaan tertentu.
Salah satu hadits shahih yang menunjukkan bolehnya kita berduaan adalah sebagai berikut: Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw, lalu beliau berduaan dengannya dan berkata: “Demi Allah! Sungguh kalian [orang-orang Anshar] adalah orang-orang yang paling aku cintai.” (HR Bukhari dan Muslim) Melihat hadits ini, Imam Bukhari menyatakan, kita boleh berkhalwat “di dekat orang banyak” (KW2: 124).
Maksudnya, menurut Hafizh Ibnu Hajar, Nabi saw. tidak berkhalwat dengan nonmuhrim, kecuali bila keadaan mereka berdua tidak tertutup dari pandangan mata orang lain dan suara mereka berdua dapat terdengar orang lain, walaupun orang lain itu tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka perbincangkan (FBSSB11: 246-247). Jadi, bukanlah tak berdasar jika kita nyatakan: Kita boleh berduaan bila terawasi, yaitu dalam keadaan yang bilamana terlihat tanda-tanda zina, yang ‘kecil’ sekalipun, “akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah perbuatan ini”. (MCMD: 130)
Hadits tersebut juga menunjukkan, dalam pemahaman Ibnu Hajar, bahwa ngobrol berdua dengan nonmuhrim secara rahasia (isinya tidak tertangkap orang lain) pada dasarnya tidak tercela. Sekalipun obrolan itu berisi “curhat masalah pribadi” (JNC: 43), itu pun masih tidak tercela. Apalagi, ada hadits shahih lain tentang curhat Ummu Darda kepada Salman, saudara-angkat Abu Darda (suami Ummu Darda): “Salman melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Ummu Darda menjawab: ‘Saudaramu, Abu Darda, tidak begitu peduli pada dunia.’ ….” (HR Bukhari) Tidak tercelanya curhat masalah pribadi dan khalwat yang terawasi itu tersirat pula dalam hadits shahih berikut ini.
Ada seorang wanita punya persoalan yang mengganjal pikirannya. Dia [menemui Nabi saw. lalu] berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ada perlu denganmu.” Nabi saw. menjawab, “Wahai Ummu Fulan! Pilihlah jalan mana yang kamu inginkan, sehingga aku bisa memenuhi keperluanmu!” Kemudian beliau pergi bersama perempuan itu melewati satu jalan sampai keperluannya selesai. (HR Muslim)
Di samping tentang curhat dan berduaan, hadits yang baru saja kita baca ini mengandung peristiwa kencan juga. Dengan demikian, kencan (saling bertemu di tempat yang disepakati) bukanlah khalwat yang terlarang. Bahkan, kendati pertemuan itu berlangsung antarlawan-jenis yang dilanda asmara, itu pun tidak tercela. (Lihat pula hadits yang disebut di Bab 2, yaitu yang mengisahkan percintaan seorang pemuda dengan seorang gadis Hubaisy.)
Namun, tentu saja, syarat ‘terawasi’ harus terpenuhi. Jika tidak, maka kita mesti memperhatikan nash-nash yang telah kita simak tadi, yaitu yang menunjukkan larangan khalwat. Kalau berduaan “tanpa sepengetahuan orang lain” (PIA: 37), maka khalwat itu menjadi terlarang.
Tidak Adakah Orang Yang Penyayang?
Kita telah menyimak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa mempunyai kekasih-tetap, berkencan, berduaan, atau pun saling berpegangan tangan tidak selalu diharamkan. Bagi sebagian penghujat ‘pacaran islami’, dalil-dalil itu mungkin terasa sangat mengejutkan. “Wong memandang saja disuruh nunduk, apalagi sentuh-sentuhan tangan.” (KHP: 202) Kalau toh “melihat wanita yang hendak dipinang”, itu mereka pandang sebagai “salah satu keterpaksaan untuk melancarkan perkawinan.” (PDKI: 72) Mereka pikir, “Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya.” (PDKI: 37)Mereka mengemukakan dalil: “Firman Allah Swt: ‘Dan janganlah kamu dekati zina (mendekati zina adalah segala tindakan yang menjurus kepada zina, seperti berpandangan, berduaan, bergandengan tangan, berpacaran, berciuman, dstnya), sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.’ (Qs. al-Isra’: 32)” (PDKI: 79)
Sebelum memeriksa isi dalil tersebut, saya hendak mengkritik cara penulisannya. Di situ, kalimat “mendekati zina adalah … dstnya”, walau diletakkan di antara tanda kurung, terlihat lebih menonjol daripada kalimat di luar kurung. (17 kata berbanding dengan 13 kata.) Cara penempatan begitu, di dalam penerjemahan Al-Qur’an, saya rasa sangat riskan. Terus terang, saya merasa sangat keberatan bahwa terjemahan firman Allah Yang Mahasuci disisipi begitu. Mengapa? Karena bisa menimbulkan kesan di mata pembaca bahwa kalimat tersebut bagian (tersirat) dari Al-Qur’an. Padahal, itu hanya merupakan tafsiran akal yang bahkan tidak didasarkan pada nash lain sama sekali. (Pada buku-buku terjemahan pada umumnya, yang diletakkan di dalam tanda kurung hanyalah ‘kata penjelas’. Adapun ‘kalimat atau ungkapan tafsiran’ biasanya diletakkan di bawahnya untuk menegaskan keterpisahannya.)
Bagaimana dengan isi dalil tersebut? Saya memandang, terjemahan ayat di situ tidak bermasalah. Namun, makna ‘mendekati zina’ atau ‘menjurus kepada zina’ yang mereka ajukan itu menurut saya perlu dikoreksi.
Mengenai ‘berciuman’, kita tidak membantah bahwa itu tergolong ‘mendekati zina’. Namun, benarkah “berduaan, bergandengan tangan, berpacaran” mendekati zina? Tidak selalu. Sebagaimana yang termaktub di atas, itu semua belum tentu mendekati zina.
Adapun digolongkannya ‘berpandangan’ dengan lawan-jenis sebagai ‘menjurus kepada zina’, tampaknya itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpandangan itu tidak selalu terlarang. Bahkan, ada kalanya justru merupakan kebaikan. Contohnya, “Salman melihat Ummu Darda memakai pakaian yang sudah usang. Karena itu, ia bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ …” (HR Bukhari)
Bagaimana dengan perintah menundukkan pandangan? “Katakanlah kepada lelaki-lelaki beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; itulah yang lebih bersih untuk mereka. … Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; janganlah memamerkan kecantikan dan perhiasan mereka, kecuali [yang biasa] terlihat; ….” (an-Nuur [24]: 30-31.)
Dalam penafsiran Abu Syuqqah dan Yusuf Ali, maksudnya adalah larangan “menyebarkan pandangan ke sana kemari” dalam keadaan-keadaan yang “menyangkut aurat” dan “sopan-santun”. (KW2: 108 dan QTT2: 892). Dengan demikian, ketika tidak merangsang syahwat dan tidak berkesan kurang ajar, saling berpandangan dengan nonmuhrim bukanlah ‘zina mata’.
Tidakkah “pandangan mata terhadap lawan jenis secara psikologis dapat menimbulkan dorongan seksual” (PIA: 48), sehingga tergolong ‘mendekati zina’? Belum tentu. Dari kajian Abu Syuqqah terhadap semua hadits shahih yang relevan dengan persoalan ini, khususnya riwayat Bukhari dan Muslim, disimpulkan bahwa sesuatu yang dikhawatirkan “akan menimbulkan fitnah” (atau “dapat memancing syahwat”) belum bisa digolongkan sebagai ‘mendekati zina’. (KW3: 298-299)
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan ‘mendekati zina’? Ibnu Abbas mengatakan, “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mirip dosa kecil, kecuali apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Nabi saw., ‘Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat (sesuatu), zinanya lidah adalah mengucapkan (sesuatu), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (sesuatu), kemudian kemaluan yang membenarkan atau menolak itu semua.’” (HR Bukhari dan Muslim) Dengan memperhatikan penggunaan kata ‘kemaluan’ pada hadits ini dan pada Surat an-Nuur [24] ayat 30-31, kami memahami ‘zina kecil’ (atau ‘mendekati zina’) sebagai aktivitas selain alat-kelamin yang pada kenyataannya (bukan lagi ‘akan’ atau pun ‘dapat’) memancing syahwat (atau membangkitkan nafsu birahi) atau “yang dimaksudkan untuk menyalurkan hasrat birahi di luar hubungan suami-istri” (MCMD: 122). Dengan begitu, bisa kita katakan bahwa ‘pacaran islami’ tidak ‘mendekati zina’ (dan bukan ‘zina kecil’).
“Pacaran islami yang gimana, coba?” protes sebagian penghujat. “Yang kalau nulis surat romantis pakai kalimat thoyyibah? Yang mengganti dan mencari pembenaran ‘apel’ dengan ‘menjalin silaturahim’? Yang ngajakin yayangnya pengajian? Diboncengin, tapi nggak nyentuh? Gimana kalau ngerem mendadak? Yang ngaku ‘kakak’ atau ‘adek’? Weleh-weleh!” (KHP: 169) “Tidak bisa dikatakan pacaran Islami hanya karena saat berkunjung memakai baju koko, masuk rumah pacar mengucapkan salam, mau pegangan tangan baca bismilah, saat selesai ciuman mengucapkan alhamdulilah dan selesai zina cukup mengucapkan istighfar.” (PIA: 24)
Pertanyaan kita: Apa salahnya masuk rumah pacar mengucap salam, saat berkunjung memakai baju koko atau jilbab, berboncengan ke tempat pengajian dengan berusaha keras untuk tidak saling bersentuhan? Apa salahnya menyebut ‘kakak’ atau ‘adek’? Apa salahnya menulis surat cinta dengan kata-kata romantis seperti “Wahai dara Melayu! Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu! Sudilah dikau kutemui dan kutemani di suatu kafe mungil, atau di taman sempit antara dua gedung pencakar langit!”? Tidak adakah di antara kita orang yang penyayang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar