Wilayah Nusantara pasca kemerdekaan tidak
kalah genting dengan masa penjajahan Belanda dan Jepang. Lantaran tidak
semua kelompok lantas bersatu membangun Indonesia merdeka. Ada di antara
kita yang ingin memisahkan diri dari kesatuan, termasuk dari kelompok
Islam.
Kelompok Islam ini melontarkan tuduhan: Republik Indonesia (itu)
kafir. Kelompok Islam ini ingin membubarkan Republik Indonesia dan
menggantinya dengan Darul Islam (DI) tahun 1950-an.
Kartosuwiryo memimpin DI Jawa Barat, Kahar Mudzakar di Sulawesi
Selatan, Ibnu Hajar mengomandani pemberontakan di Kalimantan Selatan.
KH Dr. Idham Chalid, atau biasa dipanggil Pak Idham dibuat sibuk oleh
kelompok Islam ini. Sebab, tuduhannya serius, yakni menyangkut perkara
teologi. Mereka membawa-bawa dalil agama untuk menjalankan misinya. Pak
Idham yang waktu itu menjabat Wakil Perdana Menteri II dan Kepala Badan
Keamanan tentu tak akan main-main, tentu juga karena ia sendiri adalah
seorang ulama.
Sebelum menyikapi Kartosuwiryo dan kawanannya, Pak Idham meminta kaum
ulama membahas Darul Islam. “Ini tugas saya yang paling berat,” tulis
Pak Idham autobiografinya.
Dalam sebuah sidang di badan keamanan, Pak Idham bertanya, “Bagaimana
menurut Bapak-bapak kiai,apa betul mereka berjuang memakai senjata
menghadapi negera Republik Indonesia? Di Jawa Barat mereka menyebut
Rebuplik Indonesia sebagai ‘RIK’ (Republik Indonesia Kafir). Apakah hal
ini kita biarkan?”
Sidang kaum ulama memutuskan bahwa Kartosuwiryo dan tentaranya tidak
bisa dibenarkan. DI itu, kata Pak Idham, bukan perjuangan, tapi
pemberontakan. Kartosuwiryo tidak sesuai dengan negara yang berdasarkan
Pancasila. Cita-cita Islam yang luhur tidak bisa didapat dengan cara
kekerasan seperti yang dilancarkan DI.
“Aksi DI/TII bukannya menguntungkan umat Islam, tetapi merugikan.
Banyak umat Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Mungkin di Aceh
tidak terjadi perbuatan seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Di
dua daerah ini DI membakari madrasah dan masjid-masjid yang tidak
sependapat dengan paham mereka.”
Sikap tegas Pak Idham pada DI/TII nyaris bikin dirinya tewas
diterjang timah panas, yakni ketika Idul Adha DI/TII menyerang Bung
Karno saat shalat Id.
“Peluru yang ditembakkan anggota DI/TII yang menyusup ke Jakarta itu
juga menyerempet saya. Terasa benar panasnya peluru ditengkuk saya,”
cerita Pak Idham.
Pak Idham sudah tiada, pulang ke Rahmatullah Juli tahun lalu di usia
88 tahun. Tapi, jasa dan perjuangannya masih dapat dinikmati hingga
sekarang, dan Indonesia mendatang. Negeri Pancasila yang mengedepankan
persatuan di tengah berbedaan agama, suku, bahasa, golongan, masih
berlangsung, meski di sana-sini masih direcoki. (Hamzah Sahal)
sumber: www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar