Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 CE)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua
tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far
as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih
mengetahui jalan yang benar”. Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa
Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim
an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf
al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin
dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata
sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua
tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far
as-Sadiq.
Imam Malik (94-179 H./716-795 CE)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa
man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa
tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf
tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa
tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia
meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam
Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195
Imam Shafi’i (150-205 H./767-820 CE)
Imam Shafi’i : ”Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara.
2. Mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut.
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]
Dalam Diwan (puisi) Imam Syafii, nomor 108 :
“Jadilah ahli fiqih dan sufi Jangan menjadi salah satunya Demi Allah Aku menasehatimu”.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 CE)
Imam Ahmad (r) : “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i
as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal
khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk
bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka
tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan
mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p.
405, Shaikh Amin al-Kurdi) Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak
melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p.
120)
Imam Haris Al-Muhasibi (d. 243 H./857 CE)
Imam Haris Al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang
selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan
orang tasawuf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya p.
27-32.
Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 CE)
Imam al-Qushayri tentang Tasauf: “Allah membuat golongan ini yang
terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh
hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka
rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya
yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka
menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat
mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka
kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk
melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka
bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan
cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]
Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 CE)
Imam Ghazali, hujjatul-Islam, tentang tasawuf : “Saya tahu dengan
benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka
melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan
akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain
Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk
mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].
Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 CE)
Dalam suratnya al-Maqasid : “Ciri jalan sufi ada 5 : menjaga
kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah
Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada
orang lain bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit selalu merujuk
masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi : “Jalan para sufi adalah mencari ilmu
untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri
mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat
Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .” [Ictiqadat Furaq
al-Musliman, p. 72, 73]
Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 CE)
Ibn Khaldun : “Jalan sufi adalah jalan
salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’ at-Tabi’een.
Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan
kesenangan dunia” [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]
Tajuddin as-Subki
Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf:
“Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan
menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah
dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang
mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar
adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan
ibadah” Dia berkata: “Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan
Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah
membantu manusia.
Jalaluddin as-Suyuti
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-’Aliyya, p. 57:
“tasauf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia
menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”
Ibn Taimiya (661-728 H./1263-1328 CE)
Majmu Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat,
Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: “Kamu harus tahu bahwa
syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam
agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para
syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan
kepada Nabi.” Juga dalam hal 499: “Para syaikh dimana kita perlu
mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus
mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan
petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk
kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita. Di antara para syaikh yang
dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Macruf al-Karkhi, Hasan al-Basri,
Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir Jilani,
Shaikh Ahmad ar-Rafa’i, and Shaikh Bayazid al- Bistami. Ibn Taymiyya
mengutip Bayazid al-Bistami pada 510, Volume 10: “…Syaikh besar, Bayazid
al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam
kasyf dan dia berkata kepada Dia:” Ya Allah, bagaimana jalan menuju
Engkau?”. Dan Allah menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah
kepada-Ku”. Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, ” Saya
keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya”. Implisit
dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd
(pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti
jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami. Kita melihat dari kutipan di
atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan
meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara
menaati Allah dan Rasul Saw.
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah tasawuf
Berikut adalah pendapat Ibn Taimiah tentang
definisi Tasauf dari strained, Whether you are gold or gold-plated
copper.” Sanai. Following is what Ibn Taymiyya said about the
definition of Tasawwuf, from Volume 11, At-Tasawwuf, of Majmu’a Fatawa
Ibn Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo: “Alhamdulillah, penggunaan
kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang
diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat
an-nafs and Ihsan).” “Tasauf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan
dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala
sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi
dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu
adalah sama saja baginya. Tasauf menjaga makna-makna yang tinggi dan
meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang
penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin,
sebagaimana disebutkan Allah: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan
Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)” Dia melanjutkan mengenai
Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu
akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena
usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan
(ashabus-syimal).”
Imam Ibn Qayyim (d. 751 H./1350 CE)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, “Kita
menyasikan kebesaran orang-orang tasawuf dalam pandangan salaf bagaimana
yang telah disebut oleh Sufyan ath-Tsawri (d. 161 H./777 CE). Salah
satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia
berkata: “Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733 CE) saya
tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya’) dalam diri
(Manazil as-Sa’ireen) Lanjut Ibn Qayyim:”Diantara orang terbaik adalah
Sufi yang mempelajari fiqh” ‘
Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1115-1201 H./1703-1787 CE)
Dari Mu ammad Man ar Nu’mani’s book (p. 85),
Ad- ia’at al-Mukaththafa Didd ash-Shaikh Mu ammad ibn c’Abdul Wahhab:
“Shaikh ‘Abdullah, anak shaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, mengatakan
mengenai Tasawwuf: ‘Anakku dan saya tidak pernah menolak atau mengkritik
ilmu tasauf, tetapi sebaliknya kami mendukungnya karena ia menyucikan
baik lahir maupun batin dari dosa tersembunyi yang berhubungan dengan
hati dan bentuk batin. Meskipun seseorang mungkin secara lahir benar,
secara batin mungkin salah; dan untuk memperbaikinya tasauf diperlukan.”
Dalam volume 5 dari Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab entitled ar-Rasa’il
ash-Shakhsiyya, hal 11, serta hal. 12, 61, and 64 dia menyatakan: “Saya
tidak pernah menuduh kafir Ibn ‘Arabi atau Ibn al-Farid karena
interpretasi sufinya”
Ibn ‘Abidin
Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn
Abidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar
kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika
mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka
bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia
mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka
menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati
mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].
Shaikh Rashid Rida
Dia berkata,”tasawuf adalah salah satu pilar
dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan
mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia
menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p.
726].
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the
Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in
India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada
manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi
dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat
kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah
ke jalan kecintaan penuh kepada Allah” “Di Calcutta, India, lebih dari
1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasauf” “Kita bersyukur
atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India
menemukan Tuham merka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”
Abul ‘Ala Mawdudi
Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasauf
adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw,
di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta),
dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan
Rasul” “Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran
untuk taat dalam seluruh perbuatannya.” Ringkasnya, tasauf, dahulu
maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran
Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan
kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendir
dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat
meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan
keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan
Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.
Highlight Ilmu Tasawwuf (Sufi) « Dalamdakwah — 2 Maret 2009 @ 11:46
elfizon anwar — 3 Juni 2009 @ 18:46
www.tasawuf.com — 4 Juni 2009 @ 21:43
Khayru — 25 September 2009 @ 19:29
SILAHKAN BACA PERKATAAN MEREKA (PARA ULAMA) YANG SESUNGGUHNYA DALAM KITAB2 MEREKA TANPA ADA YANG DI POTONG-POTONG ATAU DIAMBIL SEMAUNYA AJA MENURUT HAWA DAN BISIKAN IBLIS…!
TERIMA KASIH,
SAYA YANG MENCINTAI KALIAN AKAN ISLAM YANG SESUNGGUHNYA
WASALLAM
san — 8 Nopember 2009 @ 06:06
muhammad jaelani — 22 Desember 2009 @ 05:36
Baem — 21 Februari 2010 @ 17:40
Ibn sahr — 13 Mei 2010 @ 17:28
Wallahu’alam
titi — 26 Juni 2010 @ 07:37
abu unaisah — 29 Agustus 2010 @ 13:31
fatur rahman — 24 September 2010 @ 08:32
Maaf saya belum ahli seperti para ulama, tapi mohon direnungkan.
sadarkah anda, anda bisa seperti sekarang ini karena siapa?
sadarkah anda, anda bisa hidup, bernafas dan nyata didunia ini karena siapa?
sadarkah anda, tiap2 molekul yg ada pada tubuh anda bertasbih untuk siapa?
So …. orang yang sadar akan hal tsb diatas, dan berserah diri, pasrah karena kita hidup untuk-Nya ….
dan berusaha mendekatkan diri dengan mensucikan diri, mendalami ilmu agama & berserah diri pada-Nya ….
koq dibilang sesat? bid’ah? …. dan mendo’akan supaya diberi hidayah?
sungguh naif sekali!
Andalah yang perlu dido’akan supaya diberi hidayah, dan INGAT!! itupun kalau ALLAH menghendaki-Nya!!!
1 lagi …. para nabi & rasul bertugas untuk menyampaikan kepada manusia agar tidak sesat dari jalan ALLAH.
Jadi hati-hatilah …. cinta rasul tidak dilarang, tapi jangan melebihi cinta kita pada pencipta rasul itu, yakni ALLAH !!! Yang Maha Segalanya!!!
Maafkan hamba-Mu ini ya ALLAH …. Engkaulah Maha Pengampun Lagi Maha Bijaksana ….
baim — 5 Oktober 2010 @ 15:54
muslim — 7 Oktober 2010 @ 17:14
makmur — 30 Oktober 2010 @ 08:50
nafs ku hilang dalam warnaMU, ENGKAU hunjamkan panah cinta ke semua makhlukMU, tak perduli mereka memfintah atau menuduhMU, senyum KasihMU menebar jagat raya.
kuseret tertatih “keinginanku” untuk mencium wangiMU.
ijinkan hamba untuk mendekat kepadaMU.
duh GUSTI……….
jangan palingkan aku dari selainMU.
mbah manah — 4 Nopember 2010 @ 21:28
sebelum menuduh orang lain sesat, memang anda siapa? berhak menghakimi orang ?
Islam itu Rahmatan lil Alamin bukan milik anda saja..
soal siapa yg sesat itu hak ALLAH saja, selama tidak menyimpang Quran dan Hadist itulah Islam, percuma sholat tapi hati tidak bersih, Nabi aja santai sama orang kafir selama tidak mengganggu, kok anda yg mengaku Muslim malah menuduh sesama Muslim sesat, Otak boleh pinter tapi hati juga harus dididik,
karena hati itulah kuncinya bukan otak.
rahmad — 13 Nopember 2010 @ 10:34
Alloh dan rosulnya sudah jelas melarang kita untuk menyatakan/mengatakan KAFIR kpda sesama umat islam….
Putra — 15 Nopember 2010 @ 12:08
abdurrahman — 15 Nopember 2010 @ 17:41
Abdul Manan — 18 Nopember 2010 @ 18:43
Fie — 19 Nopember 2010 @ 13:48
abdurrahman — 1 Desember 2010 @ 18:54
putri — 8 Desember 2010 @ 11:35
abdul — 12 Desember 2010 @ 14:25
fauji — 14 Desember 2010 @ 01:16
gojali — 14 Desember 2010 @ 03:28
Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur‘ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh Salafush-Shalih.
Imam al-Barbahâri rahimahullâh mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau:
“Perhatikan dan cermatilah –semoga Allâh Ta’ala merahmatimu– semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah radhiyallâhu’anhum atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka, (maka) berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf ini.
LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF
Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat radhiyallâhu’anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.
Pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (Islam) lainnya.
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullâh berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar (hlm. 28):
“Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al-Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau radhiyallâhu’anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allâh Ta’ala. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan zuhud model agama Budha”.[4]
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.
PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASHAWWUF
YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR‘ÂN DAN SUNNAH[5]
Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al- Qur‘ân dan Sunnah, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan arraja‘ (pengharapan), sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf:
“Aku beribadah kepada Allâh Ta’ala, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. (!?)
Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja‘, adz-dzull (penghinaan diri), al-khudhû‘ (ketundukkan), do’a, dan aspek-aspek lainnya.
Salah seorang ulama Salaf berkata:
“Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta’ala dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq (kafir). Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta’ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta’ala dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Harûriyyah (Khawarij). Dan barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta’ala dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.
Oleh karena itu, Allâh Ta’ala memuji sifat para nabi dan rasul-Nya yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]
2.
Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur‘ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka.
Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta’ala, (mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/ pembuat syari’at agama bagi mereka”.
3.
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka. Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta’ala dengan selalu membacanya.
Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur‘ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur‘ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”.
Kalimat thayyibah (lâ ilaha illallah), menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal (الله) dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata (هُوَ/Dia), mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallâh adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal (الله), serta dzikirnya orang- orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (هُوَ/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.
4.
Sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrim) orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan ‘wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al–Qur‘ân.
Wali (kekasih) Allâh Ta’ala adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh Ta’ala). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Perlu ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang- orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali (kekasih) Allâh Ta’ala.
Kedudukan sebagai wali Allâh Ta’ala juga tidak menjadikan diri seseorang terpelihara dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Adapun makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah) dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut.
Bahkan, tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh Ta’ala, melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar kebiasaan.
Kita dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya.
Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan halhal yang ghaib (tidak nampak), dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allâh Ta’ala.
Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhi larangannya?
Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin.
Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allâh.[7]
Kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allâh Ta’ala.
5.
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri kepada Allâh Ta’ala dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allâh Ta’ala (?!).
Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash- Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan:
“Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.
6.
Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka.
Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allâh Ta’ala, meyakini janji dan ancaman-Nya.
Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama Islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allâh Ta’ala secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama.
Mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allâh Ta’ala. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allâh Ta’ala berikut ini:
Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian).
(Qs. al-Hijr/15 : 99)
Kata mereka :
“Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabb-mu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu …”.
Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka.
Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullâh:
“Sesungguhnya Allâh Ta’ala tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,”
Kemudian Hasan al-Bashri rahimahullâh membaca ayat di atas.
Jadi, ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli tashawwuf.
PENUTUP
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur‘ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allâh Ta’ala, tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.
Kemudian, jika muncul pertanyaan:
“Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?”
Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Qs. Ali ‘Imrân/3 ayat 164)
Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur‘an dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allâh Ta’ala. Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allâh Ta’ala ialah (kekotoran) jiwanya.[9]